Meruntuhkan Batas melalui Lari Virtual
JAKARTA, KOMPAS — Konsep lari secara daring atau lari virtual dapat meruntuhkan sekat dan batas dalam berlari. Pelari kini tak dibatasi ruang dan waktu dalam berlomba. Dengan aplikasi daring, lomba lari bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun.
Pejabat eksekutif tertinggi (CEO) Cause, sebuah platform lari virtual, Enrico Hugo, Senin (11/2/2019), menyampaikan, tren lari virtual kini berkembang pesat di mancanegara. Kesadaran terhadap gaya hidup sehat dan kegemaran masyarakat pada olahraga lari membuat lari virtual kian digandrungi di luar negeri.
”Tapi masyarakat Indonesia masih banyak yang belum tahu mengenai virtual run,” ucap Enrico dalam sesi konferensi pers acara Run to Empower 2019 di Jakarta.
Baca juga: Wisata Olahraga Semakin Diminati
Lari virtual menawarkan beberapa kemudahan. Pelari yang ingin berpartisipasi dalam lomba lari tidak dikumpulkan jadi satu di satu tempat sebagaimana perlombaan lari konvensional. Para peserta lari virtual bisa berlari di mana pun dan kapan pun yang mereka inginkan.
Dalam lari virtual, panitia memberikan rentang waktu tertentu untuk lomba lari. Dalam Run to Empowerment 2019, misalnya, panitia memberikan jangka waktu berlari sejak 21 Januari-3 Februari 2019.
Selama jangka waktu tersebut, peserta bisa menyesuaikan waktu berlari dengan kesibukan masing-masing. Hal inilah yang tidak dapat ditemukan dalam sejumlah ajang lomba lari.
Pada lomba lari konvensional, pelari dikumpulkan pada satu hari dan waktu yang telah ditentukan. Rute larinya pun telah ditetapkan. Sementara, dalam lari virtual, pelari bisa bebas menentukan hari dan rute sesuai keinginan mereka.
Baca juga: ”Sport Tourism”, Cara Terbaik Merawat Warisan Asian Games
Pemenang lomba lari virtual biasanya ditentukan berdasarkan catatan waktu atau jarak tempuh. Karena itu, dalam lomba lari virtual, pelari harus menggunakan dan menyalakan aplikasi yang terhubung dengan teknologi Global Positioning System (GPS) selama berlari.
Untuk memastikan peserta benar-benar berlari, Cause memilih tiga aplikasi tepercaya, yaitu Nike Run, Strava, dan Endomondo. Hasil catatan lari yang dikirimkan peserta kepada panitia juga diverifikasi secara ketat.
Menekan pengeluaran
Menurut Enrico, lari virtual dapat menekan pengeluaran pelari dalam berlomba. Sebagai contoh, dalam ajang lari besar seperti Bali Marathon, pelari yang berasal dari luar Bali harus membayar biaya pendaftaran. Selain itu, mereka juga mesti mengeluarkan biaya untuk transportasi dan biaya penginapan di Bali.
Sementara, melalui lari virtual, pelari dari seluruh penjuru Indonesia dapat mengikuti ajang lomba lari tanpa dibatasi ruang dan waktu. ”Tapi untuk saat ini kami belum bekerja sama dengan panitia lomba lari besar, seperti Bali Marathon. Ke depan ada upaya untuk bekerja sama,” ujar Enrico.
Karena sifatnya yang tanpa batas, lari virtual diyakini dapat makin menggairahkan olahraga lari dan gaya hidup sehat di masyarakat. Keyakinan ini pula yang mendasari Cause menggelar event Run to Empowerment.
Pada ajang tersebut, ada 450 pelari yang mendaftar. Peserta berasal dari seluruh Indonesia. Setengah dari jumlah peserta berasal dari luar Pulau Jawa. Sementara setengahnya lagi dari Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.
”Antusiasme masyarakat di luar Jawa mengikuti ajang lari ini di luar ekspektasi kami. Di luar Jawa, lomba lari masih jarang. Oleh sebab itu, masyarakat di sana sangat ingin berpartisipasi di acara lari virtual ini,” tutur Enrico. Dari biaya pendaftaran terkumpul dana Rp 74 juta yang kemudian dipergunakan membiayai tiga workshop untuk memberdayakan penyandang disabilitas.
Bekerja sama dengan Koneksi Indonesia (Konekin) Inklusif, sebuah organisasi yang bergerak memberdayakan penyandang disabilitas, workshop itu ditujukan kepada penyandang disabilitas dan juga 25 perusahaan.
Menurut pendiri Konekin, Marthella Sirait, perusahaan-perusahaan yang diundang dalam workshop merupakan perusahaan nasional dan memiliki cabang di sejumlah wilayah di Indonesia. Tujuannya agar pihak perusahaan dapat menerima penyandang difabel bekerja di perusahaan.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dari total jumlah karyawan, perusahaan swasta wajib merekrut setidaknya 1 persen karyawan yang merupakan penyandang disabilitas.
Hingga saat ini, data dari Kementerian Ketenagakerjaan menyebut, ada 462 perusahaan swasta yang telah menyediakan ruang bagi penyandang disabilitas. Adapun jumlah penyandang disabilitas yang terserap bekerja di sektor formal sekitar 4.173 orang.
”Di sektor informal diperkirakan lebih banyak lagi. Karena tidak jarang penyandang disabilitas itu tak terdeteksi,” kata Marthella.
Baca juga: Empat Selebriti Jalani Debut Maraton Berbekal ”Sport Science”
Ketua Yayasan Difabel Mandiri Indonesia Subandi Bonmat menyampaikan, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia diperkirakan mencapai 6,3 juta orang. ”Namun, angka itu hanya perkiraan karena masih banyak penyandang disabilitas yang disembunyikan keluarganya lantaran dianggap sebagai aib,” kata Subandi.
Subandi menganggap penting workshop yang diselenggarakan Cause dan Konekin. Workshop itu akan membuka wawasan para kaum difabel dalam memasuki dunia kerja. Termasuk cara menjadi wirausaha.
Dari ajang Run to Empower 2019, pelari kini dapat meruntuhkan batas ruang dan waktu yang selama ini menghalangi mereka mengikuti lomba lari di belahan wilayah lain di Indonesia. Di sisi lain, dengan mengikuti lomba lari, peserta juga membantu para kaum difabel meruntuhkan dinding yang selama ini membatasi mereka untuk mencari nafkah.