Teh Wasgitel, ”Moci”, dan Filosofi ”Jakwir Cetem”
Meski zaman terus berubah, bagi orang Tegal, aroma teh wasgitel tak pernah lekang oleh zaman. Saat teh hangat dituang dari gerabah poci ke dalam cangkir keramik berisi gula batu, di situ biasanya obrolan hangat tanpa sekat segera dimulai. Lebih dari kebiasaan, minum teh dari poci, atau moci, adalah tradisi.
Rintik hujan yang membasahi Jalan Ahmad Yani, Kota Tegal, Rabu (30/1/2019) malam, tak menghalangi laju Tiko (50) menuju Pondok Lesehan Bu Alfiah. Begitu tiba, ia langsung melirik beberapa camilan yang terhidang, termasuk gorengan tempe hangat di atas piring.
Tiko lalu memesan teh poci. Kurang dari dua menit, sang penjual datang membawa poci yang ujung lubang penuangnya ditutup kemasan bungkus teh tubruk. Ia lalu menuangkannya ke dalam cangkir putih berisi gula batu. Aroma teh menguar, seakan mengundang pengunjung lain untuk duduk bersama.
Menurut Tiko, yang sehari-hari berjualan kelontong, moci atau kebiasaan meminum teh dari poci tanah liat telah menjadi tradisi yang melekat. ”Hampir setiap malam saya moci. Beberapa tahun lalu, pasti bersama kawan-kawan. Namun, sudah pada meninggal,” ujarnya mengenang.
Ia pun lalu mengingat kembali kebersamaan dengan rekan-rekannya setiap malam. Dia mengatakan, moci menjadi pelengkap momen bertukar cerita dan bersenda gurau hingga larut malam. Setiap tegukan saat moci seakan menjadi amunisi dalam menghabiskan malam bersama kerabat.
Menurut Tiko, rasa lelah dan penat seakan sirna apabila sudah moci bersama teman-temannya. ”Sering kali, karena asyik mengobrol sambil moci, lupa kalau besoknya harus beraktivitas. Saat masih bersama teman-teman, bisa sampai pukul 01.00, tetapi sekarang sampai pukul 22.00 atau 23.00 saja,” ujarnya.
Teh poci sebagai simbol kekerabatan juga dirasakan, Firman (37), asal Kabupaten Brebes. Setelah perjalanan dari Semarang untuk urusan pekerjaan, dia sengaja mampir di salah satu lesehan di Jalan Ahmad Yani Tegal untuk melarutkan diri dengan malam sambil moci.
Bagi Firman, meminum teh dengan poci beda dengan cara biasa. ”Wangi teh dan gula batunya yang bikin beda. Manis dan kental. Lebih seru lagi karena dinikmati bersama teman-teman. Terasa makin nikmat saat hujan, juga sambil ngemil tahu aci,” katanya.
Moci menjadi pelengkap momen bertukar cerita dan bersenda gurau hingga larut malam. Setiap tegukan saat moci seakan menjadi amunisi dalam menghabiskan malam bersama kerabat.
Sebagian penikmat teh poci memilih tak mengaduk teh yang telah dituang ke cangkir berisi gula batu. Di awal, rasa manis belum begitu terasa, tetapi saat isi cangkir hampir habis, rasa manis itu terasa. Karena itu, meminum teh dengan poci pun identik dengan istilah wasgitel atau wangi, panas, sepet, legi (manis), lan kenthel (kental).
Atin, pemilik Lesehan Bu Alfiah, mengatakan, usahanya yang menyediakan sejumlah masakan, camilan, dan tentunya teh poci sudah berlangsung lama. Bahkan, usaha tersebut turun-temurun, dari neneknya, ibunya, hingga kemudian diteruskan olehnya.
Menurut Atin, saat ini, meski kafe-kafe yang menyediakan berbagai jenis kopi berkembang, teh poci tetap diminati. ”Memang, mayoritas yang sudah tua, kalau anak muda ngopi di angkringan. Tapi, yang muda-muda, termasuk dari luar kota, masih banyak yang ngeteh,” kata Atin.
Baca juga: Teh Indonesia Menangi Penghargaan di Paris
Roni (36), pemilik Lesehan Ropang, di Jalan Ahmad Yani, Kota Tegal, menuturkan, penikmat poci semakin banyak ketika musim liburan, seperti libur Lebaran. Pada hari-hari biasa, dalam sepekan, dia biasa menghabiskan lebih dari 10 pak teh tubruk, masing-masing berisi lima bungkus (per bungkus berisi 10 gram teh).
Ia menambahkan, saat musim libur, pengunjung datang dari mana saja, bahkan dari luar Jateng, yang baru saja mudik ke kampung halaman. ”Mereka memang sengaja mencari teh poci, tetapi makanannya bisa bermacam-macam, termasuk roti panggang,” ujar Roni.
”Moci” di kafe
Kini, di saat semua serba modern dan praktis, dan tren gaya hidup kedai kopi di kalangan anak muda, para pencinta teh poci masih setia. Itu yang membuat hampir semua rumah makan di Tegal menyediakan pilihan minuman teh poci, bahkan di kafe sekalipun.
Di Boss’A Cafe, Kota Tegal, misalnya, kendati memiliki desain interior kekinian, mereka tak menghapus menu teh poci. ”Bagaimanapun, pasti ada pengunjung yang moci. Di kafe, justru pengunjung bisa memesan makanan lebih beragam, tetapi minumnya tetap teh poci,” kata Kiki, pegawai Boss’A Cafe.
Di sebuah lesehan teh poci yang menjadi tempat nongkrong para seniman, yang dikenal dengan daerah Dama, sejumlah seniman kondang Indonesia pernah nongkrong di sana.
Baca juga: Industri Teh Perlu Beradaptasi dengan Zaman
Bicara soal makna teh poci, menurut budayawan Tegal, Atmo Tan Sidik, dalam sistem pertemanan, kedekatan seseorang bisa dinilai dari poci. Tamu yang oleh tuan rumah langsung disuguhi teh di dalam poci memperlihatkan bahwa tamu tersebut sudah dianggap nyedulur (bersaudara) dan menjadi kerabat dekat, atau oleh masyarakat Tegal biasa disebut jakwir cetem (Kompas, 6 Agustus 2011).
Tradisi yang bertahan sejak lama itu membuat poci menjadi ikon Tegal, baik kota maupun kabupaten. Bahkan, di Slawi, Kabupaten Tegal, terdapat poci raksasa atau Tugu Poci. Nyaris setiap papan nama rumah makan di Tegal dihiasi sejumlah merek teh.
Tamu yang oleh tuan rumah langsung disuguhi teh di dalam poci memperlihatkan bahwa tamu tersebut sudah dianggap nyedulur (bersaudara) dan menjadi kerabat dekat, atau oleh masyarakat Tegal biasa disebut jakwir cetem.
Industri teh
Kebiasaan moci tak terlepas dari kehadiran industri teh di Tegal yang terus berkembang. Perusahaan teh besar itu di antaranya PT Gunung Slamat, PT Tunggul Naga, PT Gopek Cipta Utama, dan PT Tong Tji. Adapun bahan baku, antara lain, berasal dari perkebunan teh di Jateng dan Jabar.
Kepala Seksi Industri Agro Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Tegal Edy Suharno menuturkan, perkembangan industri teh di Tegal selaras dengan kebudayaan masyarakatnya yang suka nongkrong. Teh yang dihidangkan dalam poci menjadi budaya.
Edy menambahkan, kebun teh di Kabupaten Tegal antara lain di Kecamatan Bumijawa. ”Di Tegal sebenarnya lebih ke industrinya, sedangkan suplai dari mana saja. Begitu juga produsen poci atau gerabah, sebenarnya sentranya tidak ada di Tegal,” katanya.
Pada 2012, luas areal kebun teh di Tegal mencapai 129,98 hektar (ha) dengan produksi 61,27 ton. Adapun tahun 2015, luasnya sekitar 121 ha dengan produksi sebanyak 35,8 ton. Ini menunjukkan, pasokan teh perusahaan atau pabrikan teh di Kabupaten Tegal lebih banyak daripada daerah lain.
Industri teh di Tegal juga ditopang produksi melati yang menjadi bahan campuran utama teh wangi. Pada 2010, produksi melati di Tegal sekitar 4.200 ton, sedangkan pada 2015 turun menjadi 3.112 ton.
Menurut Edy, industri teh tumbuh seiring perkembangan zaman. Namun, yang tak bisa dilepaskan adalah kekayaan sosial, yakni budaya moci yang menopang keberlangsungan industri itu. Dengan begitu, tenaga kerja lokal asal Tegal pun terserap.
Baca juga: Industri Teh Tegal Melintas Zaman
Edy menuturkan, di samping budaya moci, produk teh Tegal juga terus berinovasi, baik industri maupun penikmatnya. ”Beberapa tahun ke belakang, yang mungkin terbilang baru, teh dijadikan suvenir pernikahan,” ujarnya.
Sejumlah industri teh di Tegal diyakini terus berkembang meskipun tuntutan akan inovasi tak terelakkan. Dengan modal kepercayaan masyarakat yang kuat, serta kebiasaan moci yang langgeng, industri teh akan terus menyediakan beragam produk bagi pelanggannya.
Salah satunya adalah Teh Tong Tji yang telah berusia 80 tahun dan kini ditangani generasi keempat. ”Filosofi untuk bekerja keras terus dipertahankan. Sekarang, saya libatkan anak-anak saya karena sekarang teknologi sudah sangat berperan,” ujar Tatang Budiono, Direktur Utama Tong Tji, yang merupakan generasi ketiga.
Di era serba praktis kini, bermunculan produk-produk teh siap saji yang bisa langsung diminum kapan dan di mana saja. Namun, manis kental wedang teh yang dituang hangat dari bejana tanah akan selalu menjadi bagian dari tradisi warga Tegal. Simbol egalitarian orang-orang pantura.