Perang Tawar-menawar Antarnegara
Hubungan ekonomi antarnegara kini tak sekadar guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dua tahun terakhir ini, setiap negara berlomba meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui egosentrisme dan proteksionisme. Maka, posisi tawar menjadi penting guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat dan China semakin dirasakan Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2019 defisit 1,16 miliar dollar AS. Penyumbang defisit terbesar berasal dari sektor nonmigas, mencapai 704,7 juta dollar AS.
Baca juga: Perlambatan Global Makin Berdampak
Perang dagang yang turut menyebabkan perlambatan ekonomi membuat setiap negara menaikkan posisi tawarnya saat menjalin kerja sama ekonomi dengan negara lain. Hal ini dilakukan guna menjaga perekonomian dalam negeri, yaitu dengan menggenjot ekspor dan mengerem impor.
Situasi ini salah satunya terlihat dari pemberlakuan tarif bea masuk yang tinggi dari India terhadap produk minyak kelapa sawit Indonesia. Padahal, India merupakan negara pengimpor produk minyak kelapa sawit yang signifikan.
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, produksi sawit Indonesia pada Januari-November 2018 sebesar 47,61 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 32,02 juta ton diekspor ke India sebanyak 6,714 juta ton dan ke AS 1,214 juta ton.
Pemerintah kini terus menegosiasi Pemerintah India terkait perbedaan bea masuk produk turunan kelapa sawit. Pada Januari 2019, India menurunkan bea masuk produk minyak sawit olahan asal Malaysia dari 54 persen menjadi 45 persen, sementara produk asal Indonesia dari 54 persen ke 50 persen (Kompas, 20 Desember 2018).
Baca juga: Pemerintah Akan Lobi India soal Sawit
Perbedaan itu membuat produk asal Indonesia kalah kompetitif. Maka, negosiasi dan pendekatan antarpelaku usaha yang bersifat business-to-business (B2B) harus terus diupayakan untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia.
Sementara itu, AS meninjau ulang pembebasan tarif bagi produk tertentu yang diekspor Indonesia ke AS atau dikenal sebagai generalized system of preferences (GSP). Langkah AS meninjau ulang kebijakan GSP itu karena neraca perdagangan yang defisit.
Data di laman Kementerian Perdagangan menunjukkan, perdagangan RI-AS pada 2017 senilai 25,916 miliar dollar AS. Ekspor RI ke AS senilai 17,794 miliar dollar AS, lebih besar dari impor RI dari AS yang senilai 8,121 miliar dollar AS. Maka, perdagangan RI-AS memberikan surplus 9,672 miliar dollar AS bagi Indonesia. Dengan kata lain, AS defisit 9,672 miliar dollar AS dalam perdagangan dengan Indonesia.
Pada Januari-November 2018, nilai perdagangan RI-AS mencapai 26,337 miliar dollar AS dengan surplus 7,548 miliar dollar AS bagi Indonesia.
Indonesia berharap GSP tetap diberlakukan bagi Indonesia. Untuk itu, Indonesia mengupayakan berbagai cara untuk berdiplomasi, termasuk meminta pengusaha AS yang selama ini menjalin relasi dengan pengusaha RI agar menyuarakan nilai positif GSP dalam hubungan perdagangan.
Baca juga: Mencari Titik Tengah
Cara lain, Indonesia berupaya meningkatkan impor bahan baku tertentu dari AS, misalnya kapas, yang hasil produksinya berupa tekstil dan produk tekstil, akan diekspor ke AS. Upaya lain, Indonesia tetap berkomitmen mengimpor bahan baku dari AS, yakni kedelai untuk tahu dan tempe, yang produknya dipasarkan di Indonesia (Kompas, 21 Januari 2019).
Perjanjian perdagangan
Dalam hal posisi tawar, salah satunya dapat diupayakan melalui perjanjian perdagangan. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, pada 2018, ada delapan perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Selain itu, ada dua perjanjian internasional dalam proses ratifikasi, empat yang sudah ditandatangani.
Berbagai perjanjian tersebut berupa perjanjian perdagangan bebas (FTA), perjanjian tarif preferensial (PTA), perdagangan jasa dan investasi, serta kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA). Kemendag meyakini, perluasan akses pasar ekspor tahun 2018 melalui berbagai perjanjian perdagangan berpotensi meningkatkan ekspor sebesar 1,9 miliar dollar AS.
Tahun ini, Kemendag menargetkan akan merampungkan 12 perjanjian perdagangan. Salah satunya, Indonesia-Australia (IA) CEPA yang akan ditandatangani pada Maret 2019. Sebenarnya proses negosiasi telah rampung pada Agustus 2018, tetapi kembali tertunda karena persoalan politik.
Tak tercapainya target penandatanganan akhir tahun lalu disebabkan oleh sikap Pemerintah Australia yang merencanakan pemindahan Kedutaan Besar Australia di Tel Aviv, Israel, ke Jerusalem. Kabar ini memicu kerenggangan hubungan luar negeri antara Indonesia dan Australia.
Meski demikian, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menegaskan, penandatanganan perjanjian IA-CEPA akan berlangsung pada Maret 2019. ”Nanti kita akan bikin forum bisnis sekaligus penandatanganan,” ujarnya pada Kamis (14/2/2019).
Melalui perjanjian ini, diharapkan nilai perdagangan antara Indonesia dan Australia dapat membaik. Pasalnya, menurut BPS, neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Australia pada Januari 2019 defisit sebesar 208 juta dollar AS atau turun 16,85 persen dibandingkan tahun lalu.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan, dengan adanya penandatanganan ini, Indonesia berpotensi menarik investasi lebih banyak dari Australia. Dasar filosofi dari perjanjian ini lebih banyak kemitraan sehingga banyak keuntungan yang akan diperoleh Indonesia.
”Selama ini, kan, kita kalah bersaing karena bea masuk yang tinggi. Namun, melalui IA-CEPA, produk Indonesia akan lebih kompetitif karena bea masuk yang awalnya 5 persen menjadi nol persen,” ujar Shinta.
Hal itu misalnya produk tekstil Indonesia. Menurut Shinta, Indonesia dapat bersaing dengan Vietnam, Malaysia, dan Thailand, yang sebelumnya sudah dibebaskan tarifnya. Harapannya, ekspor tekstil dapat meningkat 20 persen.
Selain itu, Australia juga akan membantu mengembangkan kemampuan tenaga kerja Indonesia. ”Ini yang memang kita butuhkan sehingga tidak hanya ekspor produk, tetapi juga mampu mengekspor jasa,” kata Shinta.
Persaingan dagang tidak hanya terjadi antarnegara, tetapi sesungguhnya juga di dalam negara sendiri. Bersaing dalam menciptakan produk dan jasa terbaik untuk menjadi unggulan di dunia global mutlak dilakukan. (SHARON PATRICIA)