Cinema Lovers Community Purbalingga Gelar Film “Keluarga Pak Carik”
Cinema Lovers Community Purbalingga kembali menggelar bioskop rakyat atau layar tancep dengan memutar film seri “Keluarga Pak Carik” di halaman SMA Santo Agustinus, Purbalingga, Jawa Tengah, Sabtu (16/2/2019) malam. Hiburan, kritik, dan pesan kebajikan dikemas melalui film serta ditanamkan kepada generasi milenial.
Hujan deras mengguyur wilayah Purbalingga dan Banyumas sejak sore. Bioskop rakyat yang tadinya hendak digelar mulai 19.30 harus sedikit molor menanti redanya hujan. Beratapkan langit di pelataran gedung SMA Santo Agustinus yang merupakan salah satu bangunan cagar budaya di Purbalingga, lebih dari 100 orang, anak muda, orangtua, pelajar, guru, serta warga sekitar duduk beralaskan terpal menonton dua episode film seri “Keluarga Pak Carik” berjudul “Kandang Sapi” serta “Penganten Cilik”.
Baca juga: Mengenal Soetedja, Pencipta Lagu Di Tepinya Serayu
Ditemani kopi yang disediakan Kopi Kula dari Desa Langkap persembahan Bela-Beli Purbalingga serta iringan musik akustik dan pertunjukan monolog tentang ambisi sekaligus pergulatan batin calon lurah dari komunitas seni Katasapa (Komunitas Teater dan Sastra Perwira) Purbalingga, malam minggu yang dingin itu terasa hangat. Penonton pun larut dalam alur cerita, kritik, konflik keluarga dan desa Pak Carik sekaligus terbahak oleh banyolan yang disajikan lewat bahasa panginyongan atau ngapak khas masyarakat Banyumas.
Dalam film “Kandang Sapi” besutan sutradara Nur Muhammad Iskandar, Tukiran yang bekerja sebagai carik atau sekretaris desa memegang teguh prinsip kejujuran tatkala sang kades, serta orang-orang di sekelilingnya termasuk sang istri bernama Sutimah merajuknya untuk membuat proposal fiktif agar mendapatkan bantuan bagi pengembangan ternak sapi di desanya.
Sang kepala desa memerlukan uang korupsi bantuan dari pusat itu mengembalikan uang kampanye dari para pendukungnya, serta ingin membelikan mobil juga perhiasan bagi sang istri. Ibu kades dalam film itu merengek: “Kalunge inyong wis terasa enteng.” Artinya, kalung saya sudah terasa ringan.
Kepala desa ingin mendapat sebanyak-banyaknya bantuan sapi dan juga kandang sapi dengan membuat kelompok fiktif penerima bantuan. Warga yang bukan peternak sapi, misalnya buruh didaftarkan dalam kelompok agar mendapat bantuan. Sementara itu, obrolan dan gosip para ibu rumah tangga di warung kelontong Sutimah juga tidak kalah heboh membahas banjir uang dari bantuan pusat itu. Bu carik pun ingin agar keluarganya dapat bantuan sapi atau minimal dapat cipratan dana dari proyek bantuan itu.
Pak Carik, diperankan Anton Baskara, digambarkan sebagai sosok yang sederhana: sarapan pagi dengan tempe mendoan, serta kudapan singkong goreng; sosok yang rajin: berangkat kerja ke kantor desa pagi-pagi serta lembur di depan laptop pada waktu malam di rumah; serta gelisah pada ketidakberesan kadesnya dengan memberontak dalam diam, tapi menjalankan tugasnya menyusun proposal sesuai aturan dan kebutuhan di lapangan.
Meski dicibir, tidak disukai banyak orang, serta dibentak sang kades, Pak Carik akhirnya mengucap “Alhamdulilah” saat mengetahui rencana busuk sang kades gagal terwujud. “Kalau desa beres, negara akan beres,” tutur Penulis Naskah Film “Keluarga Pak Carik” Bowo Leksono yang juga Direktur Cinema Lovers Community Purbalingga.
Pada film kedua, “Penganten Cilik”, pusat cerita ada pada putri bungsu Pak Carik. Wulandari atau Ndari namanya yang masih duduk di bangku SMP. Masa puber, romantika mengenal lawan jenis, pacaran berbalut modus belajar bersama, serta impian menikah dengan lelaki pujaan hatinya mewarnai film ini sekaligus mengemas masalah sosial fenomena hamil di luar nikah yang terjadi di desanya. Lagi-lagi informasi pertama kali muncul di warung Bu Carik, di mana para ibu rumah tangga membahas salah satu remaja desa yang hamil di luar nikah dan terpaksa keluar dari sekolah.
Pak Carik, sebagai orangtua dan perangkat desa pun sempat kembali bimbang saat menerbitkan surat izin menikah bagi remaja itu. Jika tidak diberi, kasihan jabang bayi dan nasib ibunya. Namun jika diberi, kasihan masa depan ibunya yang belum siap menikah. Perbincangan dan obrolan mengenai dilema menikah di usia muda antara Pak Carik dan istrinya itu pun terdengar oleh Ndari yang sedang mabuk kepayang kepada Aji pujaan hatinya. Hal itu mulai menyadarkan Ndari akan bahaya serta risiko menikah usia muda.
Supangkat (17) siswa SMK Himpunan Kerukunan Tani Indonesia 2 yang hadir dalam bioskop rakyat itu terkesan dengan sikap tanggung jawab Pak Carik. “Nilai yang dipelajari dari film berjudul kandang sapi adalah kejujuran dan tanggung jawab dari Pak Carik,” katanya.
Aziz Gunarto (18) kawannya juga memetik pelajaran serupa, yaitu harus jujur melaporkan segala tanggungjawab yang dipercayakan kepadanya. “Kalau dari film ‘Penganten Cilik’ pelajaran yang bisa diambil adalah kita harus patuh pada orangtua serta menjaga sikap dan pergaulan agar terhidar dari menikah muda,” tutur Aziz.
Bowo mengatakan, media film dinilai menjadi cara yang cukup baik untuk menyampaikan pesan moral kepada generasi muda saat ini yang cenderung kurang suka membaca dan lebih suka menonton. Konten dan isu yang diangkat berasal dari realitas sosial yang ditemui di masyarakat.
Korupsi di desa
Kasus korupsi kepala desa, misalnya, baru saja diungkap jajaran Polres Banjarnegara. Kepala Desa Merden berinisial Sk (59) dan Sekretaris Desa Merden berinisial TS (52), Kecamatan Purwanegara karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dana sewa tanah desa atau tanah bengkok. Kerugian negara mencapai Rp 563.120.137 karena dana sewa itu tidak dilaporkan dan masuk rekening desa, tetapi dinikmati untuk mereka berdua.
Di Purbalingga, Tasdi sang bupati nonaktif ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin (4/6/2018) dan telah divonis bersalah dalam kasus suap dan gratifikasi oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jawa Tengah, Rabu (6/2/2019). Hakim menjatuhkan sanksi pidana 7 tahun penjara dan mencabut hak politiknya.
Baca juga: Bupati Korup Bertambah
Dalam persidangan, Tadi disebutkan telah menerima suap Rp 115 juta dari yang dijanjikan Rp 500 juta untuk proyek Islamic Center di Purbalingga tahap II dengan nilai proyek Rp 22 miliar. Suap itu merupakan upaya pengaturan lelang yang melibatkan rekanan Hamdani Kosen, Librata Nababan, dan Ardirawinata Nababan. Dalam kasus gratifikasi, Tasdi menerima sejumlah uang baik dari kolega, rekanan, maupun anggota DPR. Salah satunya disebut dari Utut Adianto, anggota DPR dari Fraksi PDI-P sebesar Rp 180 juta untuk membantu pemenangan Pilkada Jateng 2018. Namun oleh Tasdi, uang itu disimpan di rumah dinas bupati dan tidak dilaporkan ke bendahara partai.
Terhadap kasus Tasdi, Pengajar Sosiologi Korupsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Muslihudin menilai, kepala daerah yang berkuasa cenderung berwajah ganda. Di satu sisi menampilkan wajah bersih, mendukung anti-korupsi, tapi di sisi lain masih menerima untuk korupsi juga.
Menurut Muslihudin, hal itu terjadi karena integritas seorang kepala daerah yang tidak baik. “Jika integritas seseorang penyelenggara negera itu bagus dan konsisten maka tidak akan berwajah ganda, satu kata, satu perbuatan, dan satu janji,” tuturnya.
Malam semakin larut di Purbalingga. Satu per satu penonton bioskop rakyat meninggalkan pelataran SMA Santo Agustinus yang dulu pernah jadi kantor staf pabrik gula Kalimanah sekitar 1881. Bersama gerak langkah menembus pekatnya malam, kiranya semangat dan kebajikan Pak Carik menginternal dalam benak generasi milenial.
Supangkat (17) siswa SMK Himpunan Kerukunan Tani Indonesia 2 yang hadir dalam bioskop rakyat itu terkesan dengan sikap tanggung jawab Pak Carik. “Nilai yang dipelajari dari film berjudul kandang sapi adalah kejujuran dan tanggung jawab dari Pak Carik,” katanya.