Kerusakan Lingkungan dan Perburuan Ancam Spesies di Wallacea
Oleh
Frans Pati Herin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sebanyak 560 spesies yang hidup di Zona Wallacea terancam punah akibat perburuan, alihfungsi lahan, pengambilan kayu ilegal, dan penggunaan bahan berbahaya. Selain upaya konservasi, masyarakat setempat perlu pendampingan agar turut menjaga spesies endemik lewat pendekatan kearifan lokal.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang digelar Harian Kompas dan British Council memeringati 150 Tahun Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace di Indonesia. Diskusi di Menara Kompas pada Senin (18/2/2019) itu menghadirkan tiga pembicara, yakni Chairman and Professor of ConservationBiology di Universitas Indonesia Jatna Supriatna, Head of Communication and Institution Development di Burung Indonesia Ria Saryanthi, dan peneliti Zingiberaceae (temu-temuan) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Marlina Adriyani.
Ria mengatakan, ancaman spesies di Zona Wallacea, yang meliputi Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah Timor Leste itu adalah perburuan satwa liar bermotif ekonomi.
"Dapat uangnya mudah. Ke hutan, ambil burung, dan jual. Langsung dapat uang tunai," katanya.
Dari catatan Kompas, perburuan burung kakatua di Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Urata dan Pulau Seram, dan Kepulauan Aru, Maluku masih terus terjadi. Burung kakatua putih (Cacatua alba), misalnya, dijual Rp 250.000 per ekor. Burung itu dibawa keluar Maluku menggunakan kapal penumpang dan kapal ikan.
Dapat uangnya mudah. Ke hutan, ambil burung, dan jual. Langsung dapat uang tunai
Selain itu, lanjutnya, ancaman lain adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit atau arel pertambangan. Di Pulau Halmahera, kini banyak beroperasi lokasi tambang nikel.
"Kalau tambang, pohonnya ditebang dan otomatis burung akan pergi," kata Ria.
Ancaman kepunahan spesies juga terjadi di perairan. Penggunaan bom dan racun untuk menangkap ikan jadi pemicunya. Penggunaan bahan berbahaya itu membunuh ikan-kecil, merusak terumbu karang, dan membumihanguskan biota lainnya.
Menurut Ria, perlindungan terhadap satwa dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat. Setiap daerah memiliki kearifan lokal menjaga alam seperti sasi di Maluku. Sasi merupakan larangan adat saat mengambil hasil laut dalam kurun waktu tertentu. Salah satunya sasi teripang di bagian tenggara Maluku.
Minim Riset
Sementara itu, Jatna mengatakan, spesies Zona Wallacea terbentuk dari gabungan satwa dua kawasan biogeografi dunia, yakni Oriental dan Australasia. Perairan di zona tersebut juga terhubung dengan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
"Hal itu yang membuat Wallacea menjadi laboratorium hidup yang sangat dinamis," ujar Jatna.
Kendati kaya akan keanekaragaman hayati, riset untuk mendalaminya, terutama terkait kandungan di dasar laut seperti gunung api, masih sangat minim. Dinamika geologi ikut memengaruhi keberagaman hayati. Sulitnya mendapat perizinan di sana ikut menjadi kendalanya.
"Ada yang mengira bahwa riset itu untuk mencari harta karun," katanya.
Ada yang mengira bahwa riset itu untuk mencari harta karun
Begitu pula riset untuk mengukur efek perubahan iklim terhadap keberagaman hayati. Akibat naiknya suhu air laut, banyak biota laut berpindah tempat. Naiknya permukaan air juga menyebabkan abrasi memicu satwa pesisir di pulau kecil pun berpindah. Di Zona Wallacea terdapat ribuan pulau kecil.
Marlina dalam pemaparannya mengatakan, di Zona Wallacea terdapat banyak jenis tanaman yang berguna bagi dunia medis. Dia menemukan beraneka ragam temu-temuan dari yang berukuran kecil hingga setinggi 10 meter. Oleh karena itu, perlu pendalaman untuk mengetahui manfaat tanaman tersebut.
"Di Gunung Gamalama (Ternate, Maluku Utara), kondisi tanaman di ketinggian 2.000 kaki yang digambar Wallace dulu masih sama persis dengan tahun 2009 saat kami meneliti di sana," katanya. (APO/LUK/NIT)