Komitmen Iklim Nasional Terabaikan
JAKARTA, KOMPAS — Para aktivis lingkungan hidup menilai komitmen terhadap iklim nasional terabaikan oleh kedua calon presiden di dalam debat edisi kedua, Minggu (17/2/2019) malam. Padahal, isu perubahan iklim tidak kalah penting dan saling berhubungan dengan tema debat tentang energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan, dan infrastruktur.
Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri, di Jakarta, Senin (28/2/2019), mengatakan, kedua calon presiden (capres) nyaris tak menyentuh persoalan perubahan iklim. Menurutnya, isu tersebut bisa menjadi benang merah dalam membahas isu pada tema.
Anggalia menilai, Jokowi cenderung menekankan pada langkah kebijakan, proses, dan capaian selama menjabat, tetapi kurang mengelaborasi persoalan mendasar, yaitu tata kelola infrastruktur, energi, sumber daya alam (SDA), pangan, dan lingkungan hidup. Sementara itu, Prabowo banyak menyampaikan janji populis, namun miskin dalam elaborasi program kerja dan langkah konkret, serta terjebak pada masalah identitas (nasionalis versus asing).
“Kedua capres gagal mengaitkan isu perubahan iklim dengan tema, masih parsial, lepas, dan terjebak dalam permasalahan identitas,” kata kata Anggalia dalam diskusi Rekap Debat Pilpres II dan Apa yang Harus Diperkuat terkait Komitmen Iklim Nasional.
Anggalia melanjutkan, isu perubahan iklim tidak bisa terlepas dari kelima isu yang dibahas di dalam debat. Dalam isu pangan, misalnya, perubahan iklim berdampak terhadap ketersediaan pangan. Terjadinya krisis ekologi akan membuat swasembada pangan sulit tercapai akibat gagal panen dan sebagainya.
“Jangankan komitmen iklim nasional, isu perubahan iklim secara eksplisit pun tidak disentuh dalam verbatim mereka. Apalagi mereka menyinggung komitmen kewajiban internasional Indonesia dalam hal Perjanjian Paris,” kata Anggalia.
Dalam Perjanjian Paris, negara-negara dunia, termasuk Indonesia, bertekad menahan kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat celcius dibandingkan era praindustri dan berupaya keras untuk menahan kenaikan 1,5 derajat celcius pada tahun 2050, (Kompas, 6 Desember 2017).
Dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (NDC), Indonesia berkomitmen mengurangi emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan asing pada 2030. Sektor yang akan diturunkan emisinya adalah kehutanan, energi, pertanian, limbah atau sampah, dan industri. Sumber pengurangan emisi terbesar berada pada sektor kehutanan sebesar 17,2 persen dan energi 11 persen.
Koordinator Golongan Hutan Khalisah Khalid mengatakan, sebenarnya kedua capres mencantumkan persoalan iklim di dalam visi misi mereka. Namun, persoalan itu tidak dieksplorasi kedua capres di dalam debat.
“Itu disayangkan. Perubahan iklim merupakan ancaman ke depan bagi kita. Apalagi kita tinggal di negara cincin api. Bencana ekologis akibat perubahan iklim semakin banyak. Ini jadi catatan bagi kita untuk melihat komitmen kedua capres,” kata Khalisah, yang juga koordinator desk politik Walhi ini.
Baca juga: Pendanaan Mitigasi Perubahan Iklim Masih Alot
Terkait energi, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia Nuly Nazlia mengatakan, kedua capres dalam debat berkomitmen akan mengurangi energi fosil (contoh: batu bara). Sayangnya, sampai akhir debat, kedua capres tidak menyinggung bagaimana caranya.
“Kedua capres juga memasukkan visi misi pengembangan energi terbarukan (EBT) untuk mengurangi emisi. Akan tetapi, mekanisme percepatan pengembangan EBT belum jelas, termasuk strategi memperbaiki tata kelola energi dan ketenagalistrikan,” ujarnya.
Khalisah menambahkan, kedua capres enggan meninggalkan energi fosil. Selain itu, mereka juga gagal paham dalam menerjemahkan EBT dengan mengandalkan kelapa sawit untuk biofuel. Hal itu dinilai justru akan meningkatkan penghancuran hutan, meningkatkan emisi, dan melanggengkan praktik perampasan tanah, terutama tanah masyarakat adat.
"Moratorium izin perkebunan kelapa sawit sama sekali tidak menjadi pertimbangan keduanya. Padahal kebijakan itu adalah jalan pembenahan tata kelola SDA," ujar Khalisah.
Sementara itu, Koordinator Program KKI-Warsi Emmy Primadona mengatakan, pengelolaan hutan dan lahan gambut berkelanjutan oleh masyarakat dalam bentuk perhutanan sosial sebenarnya dapat mendukung pencapaian komitmen iklim nasional. Program itu dinilai juga mendukung program ketahanan pangan, energi, keberlanjutan SDA, dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat lokal.
“Oleh sebab itu, siapapun yang terpilih, realisasi perhutanan sosial harus menjadi program prioritas. Program itu juga harus didukung dengan program pemberdayaan terhadap masyarakat agar kawasan hutan yang dikelola masyarakat benar-benar membawa dampak perbaikan ekonomi mereka dan hutan dapat dikelola dengan baik secara berkelanjutan,” ujarnya dalam sambungan video.
Rekomendasi
Dalam diskusi itu, Yayasan Madani Berkelanjutan menyampaikan rekomendasi dan langkah strategis bagi kedua kandidat untuk memperkuat komitmen iklim nasional Indonesia jika terpilih. Pertama, menyusun kebijakan terintegrasi terkait pembangunan infrastruktur, energi, pangan, SDA, dan lingkungan hidup dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan NDC yang lebih ambisius dan kuat.
Kedua, menyusun kebijakan terintegrasi yang mengakomodasi penghentian deforestasi, penundaan dan evaluasi izin-izin pemanfaatan SDA skala besar. Tata kelola terkait lahan dan SDA juga perlu diperbaiki dan dibarengi transisi segera menuju energi bersih.
Ketiga, memperkuat langkah-langkah kebijakan yang sudah baik terkait hutan dan lahan. Itu termasuk memperkuat kebijakan moratorium hutan, implementasi moratorium sawit, implementasi restorasi gambut, dan rehabilitasi lahan kritis, serta mencanangkan target menuju nol deforestasi.
Keempat, menyusun serta menjalankan rencana aksi konkret untuk memperkuat pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas lahan, wilayah dan sumber daya alam dalam kebijakan terkait infrastruktur, energi, pangan, pengelolaan SDA dan lingkungan hidup.
(YOLA SASTRA)