Perbaikan Sistem Pelayanan Kegawatdarutan Mutlak Diperlukan
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sistem pelayanan kegawatdaruatan secara terpadu dalam penanganan serangan jantung atau sindroma koroner akut perlu ditingkatkan. Sebab, pasien yang terlambat mendapatkan pertolongan masih banyak ditemui sehingga angka kematian pun tinggi.
Data Global Health Data Exchange menunjukkan penyakit jantung iskemik atau penyempitan pembuluh darah pada jantung menjadi penyebab kematian terbanyak nomor dua setelah stroke selama 2007-2017. Setiap tahun, kasus yang ditemukan terus meningkat sebesar 29 persen.
“Golden period (waktu emas) untuk menangani pasien serangan jantung adalah 12 jam. Waktu ini sangat penting untuk terapi reperfusi (membuka aliran darah yang tersumbat) agar kematian pada pasien bisa dicegah,” ujar Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Dafsah Arifa Juzar dalam di Jakarta, Senin (18/2/2019).
Golden period (waktu emas) untuk menangani pasien serangan jantung adalah 12 jam. Waktu ini sangat penting untuk terapi reperfusi (membuka aliran darah yang tersumbat) agar kematian pada pasien bisa dicegah.
Ia menambahkan, waktu terbaik dalam pemberian terapi reperfusi ada pada tiga jam pertama. Namun, rata-rata pasien baru mendapatkan terapi pada enam sampai tujuh jam setelah serangan muncul. Apabila penanganan lebih dari waktu yang ditentukan, komplikasi penyakit bisa timbul seperti gagal jantung, gangguan irama jantung, nyeri berat pada dada, hingga kematian.
Sindroma koroner akut atau serangan jantung terjadi karena otot jantung tidak berfungsi akibat pembuluh darah yang tersumbat. Gejala umum yang dialami, yakni adanya rasa sakit atau nyeri di bagian tengah dada seperti tertindih benda berat. Selain itu, seseorang juga mengalami sesak napas, mual dan muntah, keringat dingin, pusing, serta nyeri dan kesemutan yang menjalar ke bagian lengan, bahu, punggung, dan rahang.
Anggota Departemen Keorganisasian Perhimpunan Dokter Spesialis KardiovaskularIndonesia (PERKI) Ade Meidian Ambari menyampaikan, keterlambatan diagnosa pasien serangan jantung juga disebabkan karena minimnya kesadaran masyarakat akan gejala yang muncul.
“Masih banyak pasien yang menganggap gejala nyeri yang dialami seperti ‘masuk angin’ biasa sehingga hanya ditangai dengan kerokan. Akibatnya, keesokan harinya justru meninggal karena tidak mendapatkan penanganan yang tepat,” katanya.
Masih banyak pasien yang menganggap gejala nyeri yang dialami seperti ‘masuk angin’ biasa sehingga hanya ditangai dengan kerokan. Akibatnya, keesokan harinya justru meninggal karena tidak mendapatkan penanganan yang tepat.
Diagnosis dini dan tata laksana yang tepat dan cepat sangat dibutuhkan untuk menurunkan angka kematian akibat serangan jantung. Laporan riset kesehatan dasar 2018 menyebutkan, penyakit jantung koroner, termasuk serangan jantung merupakan penyebab kematian paling banyak setelah stroke dan hipertensi. Sepanjang 2018, ada 3.910 kasus pasien jantung koroner yang ditemukan.
Pelayanan terpadu
Menurut Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (CHEPS) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Hidayat, penanganan pasien sejak gejala muncul sampai ditangani di rumah sakit (pre-hospital) harus dilakukan secara terpadu semua instansi pemerintah di daerah. Untuk itu, sistem pelayanan yang sekarang berjalan perlu diperbaiki melalui kebijakan yang inovatif.
Kebijakan dengan layanan kegawatdarutan melalui komando nasional dinilai belum berdampak optimal. "Perlu ada studi formatif untuk mengidentifikasi penyebab penundaan penanganan pada pasien serangan jantung di tahap pre-hospital. Faktor ini bisa saja karena kesadaran pasien rendah, investasi pada sarana pendukung kurang, ataupun praktik kerja di lapangan minim. Banyak determinan yang muncul pada tahap ini,” kata dia.
Spesialis jantung RSUD Dr Iskak Tulungagung, Jawa Timur Evit Ruspiono mengatakan, penanganan terpadu yang terintegrasi cukup efektif mempersingkat waktu pelayanan pasien serangan jantung. RSUD Dr Iskak telah menjalankan program Laskar atau Layanan Sindrom Koronaria Akut Terintegrasi untuk menyelesaikan masalah keterlambatan pasien mendapatkan pertolongan.
Program ini mengutamakan kemudahan akses, ketepatan layanan, kecepatan, dan keterpaduan seluruh instansi untuk menangani pasien serangan jantung. Intervensi dilakukan mulai dari pemberian edukasi tentang tanda dan gejala serangan jantung, pengadaan layanan call center 119/0355-320119 untuk memandu masyarakat yang mengalami serangan jantung, persiapan ambulans, serta persiapan dari petugas di IGD.
“Penanganan dilakukan secara terintegrasi. Awalnya call center akan memandu pasien ke faskes terdekat yang mampu melayani pasien. Jika butuh ambulans, petugas pun akan mencari ambulans yang siap dengan radius terdekat. Tim pre-hospital care pun akan mengatifkan tim reperfusi melalui Whatsapp grup sehingga tim reperfusi di IGD sudah mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan,” ujarnya.