Akulturasi Budaya Terus Berevolusi di Zona Wallacea
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak kebudayaan baru yang lahir akibat perpaduan budaya Austronesia, Austroasiatik, dan Melanesia yang bertemu di Zona Wallecea. Akulturasi tersebut menegaskan bahwa Zona Wallacea menjadi laboratorium evolusi yang paling dinamis.
Flora dan fauna serta etnis dan kebudayaan terus berevolusi di dalam zona yang heterogen itu. Namun, seperti halnya flora dan fauna yang terancam punah, keberagaman budaya juga terus tergerus akibat arus modernitas yang diperparah oleh kebijakan pemerintah atas nama pembangunan dan investasi.
Zona Wallacea meliputi Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, Kepulauan Maluku, dan Kepulauan Nusa Tenggara, termasuk negara Timor Leste.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan harian Kompas dan British Council dalam rangka peringatan 150 Tahun Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace di Menara Kompas, Selasa (19/2/2019).
Hadir sebagai pembicara ahli genetika Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo; Chair of Executive Board The Wallacea Foundation Sangkot Marzuki; dan antropolog Kepulauan Maluku, Mus J Huliselan.
Herawati dalam pemaparannya mengatakan, Indonesia terdiri atas beragam etnik. Mayoritas etnik adalah Jawa sebanyak 40,1 persen, Sunda 15,5 persen, Melayu 3,7 persen, Batak 3,6 persen, Madura 3,0 persen, Betawi 2,9 persen, dan sisanya sebanyak 31,2 persen termasuk yang mendiami di Zona Wallacea. Etnik di Indonesia yang berasal dari Asia daratan ataupun Melanesia telah berpadu dan melahirkan budaya baru.
Ia mencontohkan, rumah tinggi berkaki banyak milik suku Kaili Da’a di Sulawesi Tengah juga ditemukan di kawasan Austronesia, yakni suku Piawan di Taiwan. Sementara dari ciri-ciri fisik, masyarakat suku tersebut mirip masyarakat Melanesia. Begitu pula rumah bulat di Pulau Timor, NTT yang sama dengan di Ethiopia, Afrika. ”Dalam satu suku itu terdapat perpaduan dari berbagai budaya,” katanya.
Selain budaya, ada juga percampuran genetik Asia dan Melanesia. Dari ujung barat Pulau Flores hingga Kepulauan Alor, NTT, misalnya, ada pergeseran genetika. Semakin ke barat, gen yang dominan adalah Austronesia, sedangkan semakin ke timur lebih dominan Melanesia. Etnis timur Flores lebih dominan berkulit sawo matang, sedangkan etnis Manggarai di barat Flores kulitnya lebih terang.
Kearifan lokal
Mus dalam pemaparannya menambahkan, di Zona Wallacea terdapat banyak kearifan lokal yang menjadi panduan bagi masyarakat dalam menjaga kelestarian flora dan fauna.
Ia mencontohkan, suku Togutil di Pulau Halmahera, Maluku Utara, mempunyai kebiasaan menanam pohon pada saat ada bayi yang lahir. Kini, mereka terusik lantaran hutan mereka mulai dirambah perkebunan sawit.
Kearifan lokal lainnya adalah sasi di bagian tenggara Maluku. Sasi adalah larangan adat untuk mengambil hasil alam dalam kurun waktu tertentu. Di daerah pesisir, warga biasanya melakukan sasi teripang. Namun, warga kadang kala melanggar karena desakan ekonomi dan hasutan orang luar.
”Melanggar sasi itu biasa ada hukuman dari alam dan leluhur. Bisa berakhir dengan kematian,” ujarnya.
Dari catatan Kompas, oknum aparat keamanan membekali warga dengan kompresor sebagai alat bantu untuk mencuri teripang di Pulai Seira, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Warga yang mencuri itu kemudian sakit dengan benjolan di perut menyerupai teripang. Ia akhirnya meninggal. Masyarakat setempat meyakini, benjolan itu adalah hukuman atas pelanggaran dirinya.
Tokoh besar
Sangkot menambahkan, Zona Wallacea yang kaya akan keanekaragaman telah menarik perhatian para ilmuwan untuk mendalaminya. Selain Wallace, ada juga naturalis Jerman, Georg E Rumphius, yang meneliti kekayaan botani di Pulau Ambon dan sekitarnya. Karya dua tokoh di Zona Wallacea itu terkenal ke seluruh dunia.
Sayangnya, jejak peninggalan mereka terutama rumah menjadi tidak bermakna. Lahan yang diduga dulunya menjadi rumah Wallace di Ternate, Maluku Utara, kini menjadi rumah penduduk.
”Pernah ditawarkan oleh pemerintah daerah. Sayangnya pemilik rumah menaikkan harga rumah itu menjadi sangat mahal,” kata Sangkot. (LUKI AULIA/ARIS PRASETYO/SIWI YUNITA)