JAKARTA, KOMPAS – Otoritas Jasa Keuangan menyiapkan rancangan regulasi untuk memperketat penerbitan efek bersifat utang oleh perusahaan yang belum terdaftar sebagai emiten di Bursa Efek indonesia. Hal ini dilakukan agar profil risiko dari penerbitan efek menjadi menjadi lebih transparan.
Deputi Pengawas Pasar Modal II OJK, Fakhri Hilmi mengatakan bila penerbit efek bersifat utang, seperti surat utang dan sukuk, bukanlah perusahaan terbuka, OJK mewajibkan adanya pemeringkatan dari lembaga pemeringkat yang terdaftar di OJK.
“Selama ini penerbit nonemiten tidak memberikan keterbukaan informasi publik seperti yang diwajibkan pada emiten,” kata Fakhri di Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Dalam rancangan regulasi tersebut, OJK mewajibkan sejumlah syarat yang harus dilalui perusahaan non-emiten sebelum menerbitkan surat utang. Syarat tersebut yakni pendaftaran ke OJK, penilaian oleh lembaga pemeringkat yang terdaftar di OJK, menggunakan jasa penata laksana penerbitan dan agen pemantau, serta hanya dibeli oleh pemodal profesional.
Adapun yang dimaksud pemodal profesional adalah lembaga jasa keuangan dan pihak yang memiliki kemampuan untuk membeli efek dan melakukan analisis risiko terhadap investasi atas efek tersebut. Lembaga jasa keuangan mencakup bank, dapen, asuransi, manajer investasi, dan perusahaan efek.
Ketentuan tentang pemodal profesional mengacu pada POJK 11/POJK.04/2018 tentang Penawaran Umum EBUS Kepada Pemodal Profesional.
“Aturan ini nantinya tidak meminta penerbit efek untuk mengajukan izin, tetapi mendaftar ke OJK. Dia hanya daftar saja, kasih dokumen, kita registrasi, mereka silahkan jalan. Tidak ada review seperti penerbitan efek yang dilakukan oleh emiten,” kata Fakhri.
Direktur Utama Pemeringkat Efek Indonesia, Salyadi Saputra, menyayangkan proses emisi MTN yang akan menjadi lebih ketat, sebab keunggulan instrumen ini selama ini memang adalah dari sisi kemudahan emisi. Di sisi lain emisi surat utang yang selama ini melewati proses penawaran umum tetap kerap mengalami kasus gagal bayar.
“MTN sebenarnya banyak dibutuhkan oleh investor maupun korporasi penerbitnya. Lagi pula, proses yang makin ketat sebenarnya tidak menjamin juga instrumen ini kebal terhadap risiko,” ujarnya.
Emisi surat utang yang selama ini melewati proses penawaran umum juga tetap kerap mengalami kasus gagal bayar.
Salyadi menilai pengetatan yang dilakukan oleh OJK berpotensi menurunkan gairah korporasi untuk menerbitkan surat utang jangka menengah (MTN). Padahal nilai emisi dari penerbitan MTN pada akhir tahun lalu tengah memasuki tren penurunan.
Pada Semester I-2018 nilai emisi penerbitan MTN mencapai Rp 16,2 triliun. Sementara pada Juli-November 2018 nilai dari penerbitan MTN hanya mencapai Rp 6,2 triliun. Turunnya emisi MTN di semester II-2018 juga dipengaruhi oleh kenaikan imbal hasil surat utang negara akibat tekanan di pasar global.