JAKARTA, KOMPAS — Aksi kamisan yang rutin digelar setiap Kamis di depan Istana Merdeka, Jakarta, menolak wacana penempatan perwira-perwira TNI menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian/lembaga. Mereka khawatir kembalinya dwifungsi TNI, seperti di era Orde Baru, yang dapat mengancam demokrasi.
Berbeda dengan aksi kamisan sebelumnya, aksi kamisan ke-575 pada Kamis (21/2/2019) itu diikuti oleh aktivis dari Imparsial. Mereka bergabung dengan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) yang rutin menggelar kamisan untuk menuntut penyelesaian atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menyampaikan, militerisme adalah suatu hal yang harus diantisipasi karena dapat mengancam demokrasi. Dia merujuk kepada negara-negara demokrasi yang kemudian beralih menjadi negara dengan sistem yang otoriter.
”Thailand mengalami masalah serius akibat kudeta militer. Itu karena militer masuk ke dalam ranah politik,” kata Al.
Oleh karena itu, Al Araf mengatakan, setiap rencana yang ditujukan untuk mengembalikan fungsi militer ke ranah politik di Indonesia adalah suatu hal yang harus dilawan. Termasuk juga rencana revisi undang-undang TNI yang menginginkan agar militer duduk di jabatan-jabatan di kementerian.
”Kehendak untuk membangun MOU dengan kementerian dapat berujung pada kembalinya militer ke ranah sipil,” katanya.
Dia juga mengingatkan, militerisme, kekerasan, dan pelanggaran HAM berat merupakan hal yang saling berkaitan. ”Ketiganya adalah satu tarikan napas yang tidak bisa dilepaskan antara satu dan yang lainnya,” ujarnya menegaskan.
Selain Imparsial, turut hadir dalam aksi kamisan itu, Peneliti Utama Bidang Perkembangan Politik Nasional di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi. Mochtar juga memberikan pandangan tentang bahaya kembalinya militer ke dalam ranah politik.
”Jika mereka masuk dalam ranah politik, fungsi rasionalitas pemerintahan bisa rusak,” kata Mochtar.
Menurut Mochtar, penolakan kembalinya militer ke ranah politik merupakan dorongan agar militer terus berkembang. Pasalnya, dengan tidak masuk ke ranah politik, militer bisa fokus pada tugasnya menjaga dan membela negara.
”Kami menghendaki kemurnian tujuan mereka menjadi TNI,” ujar Mochtar.
Arus balik reformasi
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan, jika militer kembali memasuki jabatan sipil, hal itu merupakan sebuah arus balik dalam reformasi. Pasalnya, dalam ketetapan MPR sudah dijelaskan bahwa ada pemisahan fungsi TNI dari fungsi sipil.
”Di banyak negara, jika ingin difungsikan, mereka harus berhenti dulu dari jabatan militer,” kata Zoelva.
Sementara solusi bagi terlalu banyaknya jumlah perwira menengah dan tinggi yang dihadapi TNI saat ini, menurut Hamdan, bisa dengan menempatkan mereka di jabatan-jabatan di perusahaan atau badan usaha milik negara.
Di negara lain, seperti Amerika Serikat, prajurit yang sudah tua, yang tidak bisa naik ke jabatan lebih tinggi, dikaryakan di perusahaan.
”Itu adalah solusi yang dilakukan negara lain. Bagi saya, tentara yang pensiun dengan gaji kecil sangat berbahaya bagi negara,” ujar Zoelva. (FAJAR RAMADHAN)