JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera memutasi lurah yang terbukti menerima pungutan liar dari proses pengurusan sertifikat tanah. Pemprov juga akan mengkaji apakah betul pembagian sertifikat tanah ini benar-benar tepat sasaran untuk warga yang tidak mampu.
Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah mengatakan, mutasi ini akan dilakukan jika sudah memproses laporan dari warga terkait lurah yang menerima pungutan liar (pungli). ”Nanti akan segera kami mutasi, tunggu saja waktunya,” ujarnya seusai acara dengan Komisi Advokasi Daerah di Balai Kota, Jakarta, Kamis (21/2/2019).
Meski demikian, Saefullah belum mengatakan lurah dari daerah mana saja yang akan dimutasi. Menurut dia, saat ini Pemprov DKI masih mengkaji hal tersebut dan ingin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
”Jadi, kami tidak mau ada istilah ’kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah’. Semua kini serba transparan dan jangan ada oknum yang coba-coba bermain di belakang,” ujar Saefullah.
Maraknya pungli di sejumlah daerah ini tentu meresahkan bagi sejumlah masyarakat. Layanan program yang seharusnya bebas biaya ini dimanfaatkan oknum aparat dengan menarik biaya hingga Rp 5 juta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, seharusnya program pemberian sertifikat tanah ini menyasar kepada masyarakat tidak mampu dan berpenghasilan rendah. Ia mempertanyakan mengapa bisa ada masyarakat yang dipungut biaya hingga jutaan rupiah untuk mengurus sertifikat tanah ini.
”Kami harus lihat dahulu apakah penerima sertifikat ini betul-betul warga miskin. Jangan-jangan ia memiliki tanah yang sangat luas sehingga dipungut biaya yang besar untuk mengurus sertifikatnya,” katanya di Kawasan Pecinan, Glodok, Jakarta, Selasa (19/2).
Sebelumnya, pihak Kelurahan Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, menegaskan, pungutan biaya program sertifikasi tanah adalah biaya sukarela yang disepakati masyarakat bersama pengurus tingkat RT dan RW. Ia membantah bahwa pungutan itu diinstruksikan pemerintah daerah.
”Jalur koordinasi pemerintah daerah tidak memungut biaya apa pun dari program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Kalaupun ada, itu sebagai biaya yang disepakati antara warga dan pengurus kerukunan warga setempat,” kata Lurah Grogol Utara Jumadi, Jumat (8/2), di kantornya.
Pungutan sukarela itu dinilai wajar oleh Jumadi karena pengurusan sertifikat tanah tidak mudah. Hal ini menjadi dilematis karena pengurus RW bergerak sukarela, sementara pihak kelurahan juga tidak dapat membiayai pengurusan PTSL yang pengurus RW kerjakan (KOMPAS, 8 Februari 2019).
Salah satu korban pungli berinisial TS, membayar Rp 5 juta demi memperoleh sertifikat tanah milik orangtuanya yang berada di RW 015 Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Pada 30 Januari 2019, pengurus RW di lingkungan TS tinggal meminta biaya Rp 4,5 juta untuk pengurusan sertifikasi tanah. Saat mengambil sertifikat, oknum RW itu masih meminta biaya tambahan Rp 1 juta. Namun, ia tidak memberikan uang itu.
Kasus serupa juga terjadi di Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Seperti yang dialami Nanah (60), warga RT 002 RW 005, ia dimintai biaya Rp 3 juta oleh petugas RW saat mengurus sertifikat tanah rumah pada Oktober 2018. Hingga sekarang, ia belum menerima sertifikat tanah, padahal sudah dijanjikan akan selesai Desember 2018.