Demam "Cashback" Kode QR Mulai Gusur Uang Tunai
Poster-poster bertuliskan “Cashback 30%” terpampang di muka kios-kios terdepan Pasar Modern Bintaro, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, pada Minggu (24/2/2019) siang. Hijau muda ala Go-Pay serta ungu khas OVO mencuri perhatian para pelanggan yang lewat. Baik kedai kopi, toko swalayan, maupun toko kue, hampir semuanya memasang poster promosi dua perusahaan pengembang aplikasi uang elektronik tersebut.
Di bagian dalam pasar, suasana tak jauh berbeda, bahkan dimeriahkan corak merah T-Cash yang ke depan akan menjadi LinkAja. Stiker kode respons cepat (quick response/QR code) T-Cash dan Go-Pay saling bersanding, tertempel di meja lapak atau di dinding kios usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Setahun terakhir, Agus (35), pedagang buah di Pasar Modern Bintaro, telah menerima pembayaran nontunai dengan T-Cash di lapaknya. Sejak pertengahan Januari 2019, ia mulai bertransaksi dengan Go-Pay.
"Orang yang pakai T-Cash makin sedikit, soalnya kios isi ulang di sini (Pasar Modern Bintaro) sudah tutup. Justru yang pakai Go-Pay makin banyak,” kata Agus dalam aksen Jawa yang telah luntur oleh logat Betawi.
Dalam sehari, sekitar 10 pelanggan Agus membayar secara nontunai dengan memindai kode QR melalui ponsel pintar. Dari Rp 3 juta pemasukannya dalam sebulan, sekitar Rp 250.000 berasal dari Go-Pay, sedangkan Rp 50.000 dari T-Cash. Memang, belum ada pengaruh kenaikan omzet yang dirasakannya, tetapi keberadaan T-Cash dan Go-Pay memudahkan transaksinya dengan pembeli.
“Enggak perlu ribet sama uang kembalian, pembeli tinggal scan. Tiap habis transaksi, saya dapat SMS pemberitahuan dan uangnya langsung masuk ke rekening saya. Pelanggan juga dapat cashback (uang kembali) 30 persen dari pembelian tanpa memotong uang yang saya terima,” ujar Agus.
Jika Go-Pay dan T-Cash lebih banyak digunakan oleh pedagang-pedagang kecil, OVO lebih umum di kios-kios yang lebih besar di depan pasar, salah satunya Mata Kopi. Zuhri (24), karyawan Mata Kopi, mengatakan pengguna OVO saat ini lebih banyak dibandingkan Go-Pay dan T-Cash.
"Orang-orang biasanya cari promo. Nah, OVO lagi promo cashback 10 persen. Go-Pay belum ada promo di kami, enggak tahu kenapa beda sama toko lain yang ada cashback," katanya.
Baca juga: Hidup Terlingkung Kode QR
Pemberlakuan pembayaran dengan kode QR belum berpengaruh signifikan pada pemasukan Mata Kopi yang melampaui Rp 20 juta per bulan. Sebab, proporsinya masih sekitar 10 persen dari total transaksi yang masih didominasi tunai.
Enggak perlu ribet sama uang kembalian, pembeli tinggal scan. Tiap habis transaksi, saya dapat SMS pemberitahuan dan uangnya langsung masuk ke rekening saya.
Di Pasar Modern BSD (Bumi Serpong Damai) City, Serpong, keadaan tak jauh berbeda. Meliana (53), pemilik Toko Murah, menggunakan Go-Pay sebagai metode pembayaran sejak awal Februari.
Sekitar dua pekan lalu, ia didatangi agen Go-Pay. Ia ditanyai berbagai hal tentang tokonya, kepemilikan rekening bank, serta keberadaan mesin EDC (electronic data capture) di tokonya untuk memproses pembayaran dengan kartu kredit dan debit.
"Setelah toko saya difoto, saya dikasih QR code. Orang yang belanja tinggal scan aja waktu mau bayar. Ternyata setelah pakai Go-Pay malah makin banyak yang belanja, soalnya ada promo cashback. Beberapa malah belanja pakai dua HP biar dapat cashback Rp 20.000," kata Meliana.
Beberapa malah belanja pakai dua HP biar dapat cashback Rp 20.000.
Meliana sesungguhnya penasaran dari mana asal uang kembali ke pelanggan tersebut dan apakah perusahaan penyedia pembayaran dengan kode QR tidak rugi. Namun, yang pasti pembayaran dengan Go-Pay tidak ada potongan, sehingga dia untung. Berbeda dengan pembayaran melalui mesin EDC harus dipotong 0,15 persen dari total transaksi.
Ita (38), pemilik Apotek Serpong di Pasar Modern BSD, mulai menerima Go-Pay sebagai metode pembayaran sejak dua pekan lalu. Ia pun merasakan semangat pelanggan untuk bertransaksi nontunai dengan kode QR. Akhirnya, dua "Sebelum ada Go-Pay, orang-orang yang beli pada nanya, \'udah ada Go-Pay belom?\'" kata Ita.
Kendati begitu, pelanggan yang menggunakan Go-Pay dinilainya masih sedikit dan terbatas pada pelanggan yang berusia 40 tahun ke bawah. "Yang udah agak tua malah enggak ngerti, mungkin masih gaptek (gagap teknologi)," kata dia.
Baca juga: Pengembangan Uang Elektronik Makin Gencar
Nilai tambah
Head of Corporate Communications Go-Pay Winny Triswandhani mengatakan, Go-Pay telah memiliki lebih dari 100.000 mitra usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di 20 pasar modern di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Raya, dan Bekasi (Jabodetabek). Penetrasi ke berbagai pasar dimulai pada Desember 2018.
Persyaratan bagi unit UMKM pun tidak rumit, hanya KTP dan rekening bank. “Kalau belum punya, mereka harus buat dulu, bisa di bank mana saja, baik bank nasional maupun daerah,” kata Winny.
Winny menambahkan, sedari awal, Go-Pay sebagai bagian dari Go-Jek memilih keberpihakan pada UMKM sebagai filosofi perusahaan. Transaksi nontunai yang tersambung dengan layanan perbankan akan memberikan nilai tambah terbesar bagi UMKM yang belum terbiasa pada kemudahan layanan keuangan nontunai, yaitu kerapian pembukuan dan keamanan uang.
Transaksi nontunai yang tersambung dengan layanan perbankan akan memberikan nilai tambah bagi UMKM yang belum terbiasa pada kemudahan layanan keuangan nontunai, yaitu kerapian pembukuan dan keamanan uang.
Adapun promosi cashback merupakan cara membangun kepercayaan terhadap metode transaksi nontunai di kalangan pegiat UMKM yang telah terbiasa dengan uang tunai.
“Selama ini, UMKM terus memakai uang tunai dan bisnis mereka terus berjalan tanpa kendala. Karena itu, kami harus buktikan bahwa bekerja sama dengan Go-Pay lebih menguntungkan. Selain itu, promosi cashback menjadi strategi pemasaran UMKM yang selama ini hampir tidak ada,” kata Winny.
Sementara itu, Direktur OVO Harianto Gunawan mengatakan, OVO telah digunakan 230.000 UMKM. “OVO memang ingin mendorong tingkat adopsi transaksi nontunai. Harapannya, lebih banyak UMKM bisa membangun riwayat transaksi untuk mengembangkan usaha mereka,” katanya.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Dewi Meisari mengapresiasi keberadaan metode pembayaran kode QR. Ia mengatakan, hanya sedikit pegiat UMKM yang mencatat arus keuangannya.
“Dengan mendorong mereka masuk ke cashless society (masyarakat nontunai), setidaknya omzet mereka bisa dicatatkan oleh sistem digital dan perbankan,” kata Dewi.
Dengan mendorong mereka masuk ke cashless society (masyarakat nontunai), setidaknya omzet mereka bisa dicatatkan oleh sistem digital dan perbankan.
Secara makro, lanjut Dewi, transaksi nontunai akan meringankan tugas Bank Indonesia (BI) menjaga persediaan uang tunai di berbagai kota.
Di sisi lain, Dewi menilai setiap pedagang hanya perlu memiliki satu kode QR yang dapat diproses oleh aplikasi apa pun agar transaksi lebih efisien. “Unique QR code ini harus segera disediakan oleh BI,” kata Dewi.
Terkait cashback, Dewi mengatakan, Go-Pay dan OVO pasti merugi karena “membakar uang”. Namun, strategi tersebut efektif untuk mengakuisisi pasar dan membangun ketergantungan konsumen. Dalam jangka pendek, memang perusahaan akan merugi, tetapi nilai perusahaan (capital gain) akan berlipat ganda seiring meningkatnya pengguna.
Barang dagangan boleh sama dari waktu ke waktu, namun metode pembayaran terus berubah. Makna modern dalam \'pasar modern\' pun semakin nyata. QR code yang terpampang di depan kios mulai mendorong uang tunai keluar dari arena metode pembayaran. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)