Penguatan Literasi Diperlukan agar Tidak Terjadi Diskriminasi
Oleh
hendiryo widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya pengetahuan masyarakat sering memunculkan diskriminasi terhadap penganut aliran kepercayaan. Padahal, jika masyarakat paham, tak ada alasan untuk menolak kehadiran mereka. Penguatan literasi masyarakat dan pengenalan lebih luas terkait aliran kepercayaan diperlukan untuk menghentikan diskriminasi.
Demikian poin diskusi tentang penganut aliran kepercayaan, di Jakarta, Minggu (24/2/2019). Diskusi yang merupakan rangkaian dari Festival Kebhinekaan ini diikuti oleh generasi milenial di Jakarta dan sekitarnya.
Bornok Manurung (28), penganut kepercayaan Parmalim, agama lokal suku Batak, mengatakan, diskriminasi terjadi karena masyarakat tidak mengenal penganut aliran kepercayaan. Dengan demikian, masyarakat mudah berprasangka buruk dan dihasut untuk mendiskriminasi mereka.
“Diskriminasi terjadi karena mereka belum mengenal kami. Mereka pun beranggapan, kami orang berbeda, tidak mengikuti ajaran agama mereka, sehingga kami diperlakukan berbeda. Padahal, sebagai warga negara, kita memiliki hak yang sama,” kata Bornok, yang sekarang berdomisili di Bekasi, Jawa Barat.
Diskriminasi terjadi karena mereka belum mengenal kami. Mereka pun beranggapan, kami orang berbeda, tidak mengikuti ajaran agama mereka, sehingga kami diperlakukan berbeda.
Bornok menjelaskan, di tingkat kampung di Kabupaten Toba Samosir, Sumatra Utara, masyarakat dari berbagai agama bisa menerima penganut kepercayaan Parmalim karena sudah saling mengenal. Namun, di luar itu, terutama di kota besar, penganut Parmalim sering mendapatkan diskriminasi.
Salah satu bentuk diskriminasi yang pernah dialami Bornok adalah ketika melamar pekerjaan. Dia tidak diterima bekerja di suatu perusahaan karena menganut aliran kepercayaan.
Hal senada diungkapkan Eriyani Kusuma, penghayat kepercayaan Kapribaden dari Yogyakarta. Masyarakat memperlakukan berbeda penganut aliran kepercayaan karena tidak mengenal mereka.
Eriyani bercerita, adiknya pernah mendapatkan perlakuan tidak baik dari guru ketika akan mengikuti ujian mata pelajaran agama Islam di SMA. Guru yang mengajar mempersulit sang adik untuk ikut ujian karena dianggap orang musyrik.
“Padahal, adik saya fasih baca Alquran, meskipun menghayati Kapribaden. Setelah saya jelaskan ke gurunya secara baik-baik, akhirnya pikirannya terbuka dan adik saya bisa mendapat nilai,” kata Eriyani.
Pengenalan
Dalam forum yang sama, penulis dan advokat Kanti W Janis, yang juga menaruh perhatian pada isu penganut aliran kepercayaan, mengatakan, diskriminasi timbul karena adanya stigma negatif yang dibangun sejak dulu. Masyarakat juga belum terbiasa dengan sesuatu yang berbeda dengan mereka.
“Informasi dan sosialisasi terhadap penganut aliran kepercayaan kurang. Mereka kerap disamakan sebagai penganut animisme dan dinamisme, dianggap tidak percaya Tuhan. Padahal, anggapan itu tidak benar. Dulu, juga tidak ada upaya dari pemerintah untuk meluruskan itu,” kata Kanti.
Kanti mengharapkan, upaya untuk mengenalkan keberadaan aliran kepercayaan kepada masyarakat luas digalakkan, terutama generasi muda. Dengan pemahaman yang benar terhadap penganut aliran kepercayaan, diharapkan tidak lagi terjadi diskriminasi. Masyarakat dari latar belakang agama dan kepercayaan berbeda bisa hidup berdampingan dengan damai.
Bornok menambahkan, perlakuan terhadap penganut Parmalim beberapa tahun belakangan sudah mulai baik. Beberapa penganut kepercayaan itu juga mulai ada yang masuk ke dalam struktur pemerintahan daerah. Keputusan Mahkamah Konstitusi RI pada 7 November 2017, yang intinya memperbolehkan penganut kepercayaan untuk mencantumkan kepercayaannya di KTP, juga memperkuat posisi mereka.
“Tapi kami perlu lebih memperkenalkan diri lagi lebih luas supaya masyarakat tidak lagi membedakan kami,” ujarnya.
Kami perlu lebih memperkenalkan diri lagi lebih luas supaya masyarakat tidak lagi membedakan kami.
Ketua Perkumpulan Literasi Indonesia, Wien Muldian mengatakan, diskriminasi terhadap penganut aliran kepercayaan terjadi karena minimnya informasi terkait aliran kepercayaan. Dia pun mengusulkan kepada para penganut aliran kepercayaan untuk memperkenalkan ajaran dan kebudayaan mereka dengan menulis karya sastra, seperti cerpen dan novel.
Menurut Wien, cara tersebut lebih mudah diterima masyarakat karena menyentuh jiwa seseorang. Selain itu, pengenalan melalui karya sastra juga termasuk sosialisasi jangka panjang karena akan membangun pemahaman kepada generasi masa depan. (YOLA SASTRA)