JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum dipandang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi (judicial review)Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan upaya pencetakan surat suara bagi daftar pemilih tambahan yang pindah memilih. Dengan demikian, KPU tidak perlu menunggu ada permohonan dari warga yang berpotensi dirugikan karena tidak bisa memilih lantaran kekurangan surat suara.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Sigit Pamungkas mengatakan, KPU sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan pemilu memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, KPU dapat mengambil inisiatif menjadi pemohon uji materi atas Pasal 344 Ayat (2) UU Pemilu yang mengatur pencetakan surat suara berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) ditambah dengan 2 persen surat suara cadangan.
”KPU tidak perlu menunggu warga yang terdaftar dalam DPTb (daftar pemilih tambahan) untuk mengajukan uji materi itu karena hak-hak pemilih yang berpotensi hilang karena surat suara yang terbatas. KPU sebagai penyelenggara pemilu yang memiliki kewenangan dan kewajiban memastikan semua warga dapat menyalurkan hak pilih juga memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi itu,” katanya, Minggu (24/2/2019), di Jakarta.
KPU dapat mengambil inisiatif menjadi pemohon uji materi atas Pasal 344 Ayat (2) UU Pemilu yang mengatur pencetakan surat suara berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) ditambah dengan 2 persen surat suara cadangan.
Alternatif untuk mengajukan uji materi UU Pemilu ke MK itu mengemuka setelah KPU menerima laporan dari KPU daerah tentang adanya penumpukan atau konsentrasi pemilih yang pindah memilih di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS). Penumpukan pemilih yang masuk ke dalam daftar pemilih tambahan tersebut berpotensi mengakibatkan kekurangan surat suara cadangan yang hanya dialokasikan 2 persen dari DPT. Kondisi ini mengakibatkan pemilih dalam DPTb berpotensi tidak bisa menyalurkan hak pilihnya lantaran kekurangan surat suara.
Anggota KPU, Viryan Aziz, akhir pekan lalu, mengatakan, ada dua opsi untuk mengatasi hal tersebut, yakni dengan membuat peraturan pengganti undang-undang (perppu) atau mengajukan judicial review ke MK terkait dengan Pasal 344 Ayat (2) UU Pemilu. Pasal tersebut mengatur bahwa surat suara yang dicetak ialah berdasarkan DPT ditambah dengan 2 persen surat suara cadangan. Adapun ketentuan mengenai boleh tidaknya pencetakan surat suara berdasarkan DPTb tidak diatur dalam aturan tersebut.
Pengajuan perppu atau uji materi ke MK diharapkan bisa memungkinkan KPU untuk mencetak surat suara bagi pemilih dalam DPTb yang terancam tidak bisa menyalurkan hak pilihnya karena keterbatasan suara suara cadangan tersebut. Namun, menurut Viryan, uji materi ke MK tersebut bisa dilakukan oleh warga yang tercantum dalam DPTb, tetapi berpotensi kehilangan hak suara karena keterbatasan surat suara cadangan 2 persen di setiap TPS. Cepat atau tidaknya putusan MK pun amat bergantung pada hakim konstitusi.
Sigit berpendapat, selain pemilih berpotensi kehilangan hak pilihnya karena keterbatasan surat suara, KPU sebagai penyelenggara juga berkewajiban memastikan surat suara itu mencukupi. Jika karena keterbatasan UU itu KPU tidak bisa menjalankan tugasnya dan berpotensi membuat warga negara kehilangan hak pilihnya, KPU memiliki kedudukan hukum yang sama untuk mengajukan uji materi ke MK.
Saat ini, uji materi ke MK merupakan sarana yang paling mudah dan memungkinkan bagi KPU untuk mengatasi kekurangan surat suara untuk DPTb yang terkonsentrasi di sejumlah daerah. Sebab, uji materi di MK praktis tidak memerlukan proses politik sebagaimana yang diperlukan untuk pembuatan perppu.
”Saat ini, uji materi ke MK merupakan sarana yang paling mudah dan memungkinkan bagi KPU untuk mengatasi kekurangan surat suara untuk DPTb yang terkonsentrasi di sejumlah daerah. Sebab, uji materi di MK praktis tidak memerlukan proses politik sebagaimana yang diperlukan untuk pembuatan perppu,” katanya.
Dengan melihat kondisi saat ini, anggota DPR sebagian besar mulai berkonsentrasi menghadapi pemilu legislatif. Adapun upaya pembentukan perppu tetap harus melalui persetujuan rapat DPR.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, tetap terbuka kemungkinan bagi MK untuk memutus cepat perkara uji materi yang diajukan oleh elemen masyarakat terkait dengan penyelenggaraan pemilu. ”Tinggal bergantung apakah pemohon nantinya mampu berargumentasi untuk meyakinkan MK agar memutus perkara itu dengan segera. Yang pasti, MK menjaga konstitusionalitas pemilu, siapa pun pemohonnya, apakah dari masyarakat ataukah dari KPU,” katanya.
Fajar menyatakan, pemilu sebagai agenda ketatanegaraan yang penting tentu menjadi salah satu pertimbangan bagi mahkamah. Namun, masalah percepatan putusan itu akan sangat tergantung pada argumentasi yang dikemukakan oleh pemohon.
Pengaturan teknis
Terlepas dari dua opsi yang terkait dengan perubahan UU Pemilu, baik pembentukan perppu maupun pengajuan uji materi ke MK, menurut Sigit, KPU sebenarnya masih bisa mengatasi kendala kekurangan surat suara itu melalui pengaturan teknis dan distribusi logistik di lapangan. Masih ada cukup waktu bagi KPU untuk menata ulang distribusi logistik di tempat-tempat yang telah diketahui terjadi penumpukan pemilih pemula.
Data penumpukan pemilih pindahan yang dihimpun oleh KPU itu bisa dimanfaatkan untuk membuat dua tindakan. Pertama, menggeser atau mendistribusikan pemilih DPTb ke TPS lain terdekat sehingga tidak semuanya terkonsentrasi di tempat yang sama. Kedua, mendistribusikan logistik berupa surat suara dari TPS terdekat atau di sekitar wilayah itu ke TPS di mana terjadi penumpukan pemilih pindahan.
”Misalnya, pemilih di lapas dan sekitar universitas, itu kemungkinan sebagian besar pemilihnya pemilih pindahan karena umumnya berasal dari luar daerah. Kalau sudah terdeteksi dan terpetakan kondisinya, KPU perlu merealokasikan secara tepat distribusi surat suara ke titik-titik tersebut. Surat suara cadangan di daerah yang diketahui tidak ada penumpukan bisa dialokasikan ke daerah tersebut,” kata Sigit.
Upaya menata ulang distribusi surat suara akan memerlukan kerja keras dan rapi dari penyelenggara pemilu. Namun, upaya itu sebenarnya tetap bisa ditempuh tanpa mengajukan pembentukan perppu atau mengajukan uji materi ke MK.
Upaya menata ulang distribusi surat suara akan memerlukan kerja keras dan rapi dari penyelenggara pemilu. Namun, upaya itu sebenarnya tetap bisa ditempuh tanpa mengajukan pembentukan perppu atau mengajukan uji materi ke MK. Kerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diperlukan untuk mengawal perpindahan surat suara ini.
”Sedari awal harus ada kerja sama dengan Bawaslu untuk memobilisasi surat suara ke titik-titik terjadinya penumpukan pemilih pindahan sehingga tidak ada kecurangan atau kecurigaan manipulasi surat suara. Untuk melakukan ini, KPU harus membuat payung hukum yang sifatnya teknis, misalnya PKPU,” katanya.