Jalan Panjang Riset Penanggulangan DBD dengan Bakteri ”Wolbachia”
Upaya menanggulangi penyakit demam berdarah dengue (DBD) terus dilakukan dengan sejumlah cara. Di luar cara konvensional seperti pemberantasan sarang nyamuk, penelitian untuk menemukan cara baru meminimalkan kasus DBD juga terus dilakukan. Salah satu yang kini tengah berjalan adalah riset penanggulangan DBD menggunakan bakteri Wolbachia.
Riset itu dijalankan di sejumlah negara dengan wadah bernama World Mosquito Program (WMP). Fokus utama WMP adalah mencegah penularan virus dengue dengan memasukkan bakteri Wolbachia yang menularkan DBD.
Wolbachia merupakan bakteri alami yang biasa terdapat pada serangga dan terbukti mampu menghambat pertumbuhan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti. Dengan begitu, nyamuk Aedes aegypti yang telah mengandung Wolbachia tidak bisa menularkan penyakit DBD ke manusia.
Di Indonesia, WMP dijalankan di Yogyakarta atas kerja sama Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) serta Yayasan Tahija. Awalnya, program tersebut dinamai Eliminate Dengue Project (EDP), tetapi kemudian berubah nama menjadi WMP.
Namun, seperti halnya penelitian yang mengeksplorasi metode baru dalam dunia kesehatan, riset penanggulangan DBD dengan bakteri Wolbachia harus melalui jalan yang panjang dengan waktu yang tak sebentar. Ini karena banyak tahapan yang mesti dilalui sebelum riset tersebut bisa menghasilkan kesimpulan yang valid secara ilmiah.
Project Leader WMP Yogyakarta Adi Utarini menjelaskan, penelitian WMP berlangsung sejak tahun 2011 di Yogyakarta. Setelah itu, pada tahun 2014, tim WMP Yogyakarta mulai melakukan pelepasan nyamuk Aedes aegypti yang telah mengandung bakteri Wolbachia secara terbatas di beberapa dusun di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Nyamuk Aedes aegypti yang mengandung Wolbachia dan telah dilepasliarkan itu akan kawin dengan nyamuk Aedes aegypti biasa di alam bebas. Dengan begitu, kandungan Wolbachia akan ditularkan ke nyamuk lain.
Kalau nyamuk betina yang mengandung Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan biasa, telurnya akan mengandung Wolbachia. Kalau nyamuk jantan yang mengandung Wolbachia kawin dengan nyamuk betina biasa, maka telurnya tidak menetas,” kata Utarini saat ditemui Kompas, Selasa (26/2/2019), di Kampus FKKMK UGM, Sleman.
Utarini menambahkan, pada tahun 2016, tim WMP Yogyakarta mulai melakukan pelepasan nyamuk Aedes aegypti yang telah mengandung bakteri Wolbachia secara luas di Kota Yogyakarta. Dari pelepasan nyamuk tersebut lalu dilakukan dua studi yang berbeda. Studi pertama dilakukan di 10 kelurahan di Kota Yogyakarta yang sama-sama melakukan program pencegahan DBD dengan pemberantasan sarang nyamuk.
Dari 10 kelurahan terpilih itu, sebanyak tujuh di antaranya menjadi tempat penyebaran telur nyamuk Aedes aegypti yang mengandung Wolbachia. Pelepasan dilakukan pada Agustus 2016 hingga Februari 2017.
Baca juga: Kisah Para Pemburu Nyamuk dan Penyakitnya
Sementara itu, tiga kelurahan lain menjadi wilayah kontrol yang tak disebari nyamuk mengandung Wolbachia. Untuk meminimalkan migrasi nyamuk, wilayah kontrol dipilih di kelurahan yang jauh dari lokasi penyebaran nyamuk.
Jadi, kami membandingkan tujuh kelurahan yang diberi telur nyamuk mengandung Wolbachia dengan tiga kelurahan yang tanpa intervensi khusus,” kata Utarini yang juga merupakan Guru Besar FKKMK UGM.
Sesudah penyebaran telur nyamuk Aedes aegypti yang mengandung Wolbachia dilakukan, tim WMP Yogyakarta memantau data kasus DBD di 10 kelurahan tersebut. Hasil pemantauan menunjukkan, kasus DBD di tujuh kelurahan yang diintervensi ternyata relatif rendah dalam jangka waktu cukup lama.
Sementara itu, kasus DBD di tiga kelurahan yang menjadi wilayah kontrol ternyata tidak stabil, kadang naik dan kadang turun. Pada waktu-waktu tertentu, tampak bahwa kasus DBD di wilayah kontrol ternyata jauh lebih tinggi dibanding di wilayah yang diintervensi. Meski begitu, hasil pengamatan itu dinilai belum cukup untuk menyimpulkan bahwa penggunaan bakteri Wolbachia benar-benar bisa menurunkan jumlah kasus DBD.
Studi kedua
Selain studi di 10 kelurahan itu, tim WMP Yogyakarta juga melakukan studi kedua yang dinamai Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) di 38 kelurahan di Kota Yogyakarta dan tiga desa di Bantul. Sebagian wilayah penelitian itu kemudian ditetapkan sebagai wilayah intervensi, sementara sebagian lainnya menjadi wilayah kontrol.
Sama seperti dalam studi pertama, tim WMP Yogyakarta melakukan penyebaran telur nyamuk Aedes aegypti yang mengandung Wolbachia di wilayah intervensi. Penyebaran dilakukan pada Maret-Desember 2017. Sementara itu, di wilayah kontrol tak dilakukan penyebaran semacam itu.
Pembagian wilayah intervensi dan wilayah kontrol tidak dilakukan berdasar batasan administrasi kelurahan, tetapi berdasar adanya pembatas fisik, seperti jalan, sungai, atau pepohonan. Hal ini dilakukan agar nyamuk dari wilayah intervensi tidak menyeberang ke wilayah kontrol.
Utarini menambahkan, tim WMP Yogyakarta kemudian bekerja sama dengan 18 puskesmas di Yogyakarta untuk memantau kasus DBD di wilayah penelitian. Melalui kerja sama itu, setiap pasien DBD yang memeriksakan diri ke 18 puskesmas tersebut akan diminta untuk menjadi partisipan dalam studi AWED. Para partisipan itu kemudian diteliti domisili dan mobilitasnya selama dua minggu terakhir untuk mengidentifikasi di mana dia tertular DBD.
Studi AWED diharapkan bisa membuktikan apakah penggunaan bakteri Wolbachia benar-benar bisa menekan jumlah kasus DBD atau tidak. Utarini memaparkan, saat ini, tim WMP Yogyakarta masih memantau perkembangan kasus DBD di wilayah yang menjadi lokasi studi AWED. Pemantauan itu akan dilakukan hingga akhir tahun 2020 agar hasil penelitian tersebut benar-benar valid.
Hasil studi AWED ini yang bukti ilmiahnya paling valid. Untuk penelitian ini, kita membutuhkan sampel dari 500 kasus DBD sampai akhir tahun 2020. Baru setelah itu kesimpulan bisa ditarik,” kata Utarini.
Utarini menyatakan, saat ini, penelitian yang dilakukan tim WMP Yogyakarta mendapat dukungan dari masyarakat dan pihak terkait, termasuk pemerintah daerah. Namun, dia mengakui, pada awal tahun 2014, sempat muncul penolakan dari sejumlah warga di Sleman yang khawatir dengan dampak pelepasan nyamuk oleh tim WMP Yogyakarta.
Untungnya, sesudah mendapat sosialisasi dengan baik, warga akhirnya menerima program tersebut. ”Kita belajar banyak waktu dulu ada masalah di Sleman,” kata Utarini.
Setelah masalah di Sleman bisa diselesaikan, pelepasan nyamuk yang dilakukan tim WMP Yogyakarta tak lagi mendapat penolakan dari masyarakat. Warga di sejumlah lokasi pun memberi dukungan saat rumahnya dijadikan lokasi peletakan telur nyamuk Aedes aegypti yang mengandung Wolbachia.
”Kami sangat bersyukur dan mengapresiasi masyarakat di Yogyakarta. Mereka memiliki pemahaman yang luar biasa,” kata Utarini.
Penelitian yang dilakukan tim WMP Yogyakarta mendapat dukungan dari masyarakat dan pihak terkait, termasuk pemerintah daerah. Namun, dia mengakui, pada awal tahun 2014, sempat muncul penolakan dari sejumlah warga di Sleman yang khawatir dengan dampak pelepasan nyamuk oleh tim WMP Yogyakarta.
Dalam kesempatan sebelumnya, Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan, penyebaran nyamuk yang telah mengandung Wolbachia oleh tim WMP Yogyakarta menjadi salah satu cara untuk meminimalkan penyebaran DBD. Namun, Heroe menyatakan, pemberantasan sarang nyamuk dengan menguras, menutup, dan membersihkan tempat penampung air harus tetap dilakukan.