JAKARTA, KOMPAS — Pencemaran logam berat di Teluk Jakarta, DKI Jakarta, berpotensi menghantam perekonomian warga pesisir. Larangan mengonsumsi biota laut yang tercemar tidak menyentuh akar persoalan. Penerapan peraturan tata kelola limbah yang tegas dari hulu ke hilir diperlukan.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia Rokhmin Damhuri, dihubungi dari Jakarta, Rabu (27/2/2019), mengatakan, pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan yang reaktif. Kebijakan reaktif itu misalnya melarang masyarakat mengonsumsi biota laut yang ditangkap nelayan di Teluk Jakarta.
Banyak nelayan di Teluk Jakarta kondisinya belum sejahtera secara ekonomi sehingga pencemaran laut itu membuat mereka semakin terpojok. Di satu sisi, mereka tidak ingin menjual makanan beracun, tetapi di sisi lain mereka juga harus tetap bertahan hidup.
”Pemerintah harus bijak agar penanganan pencemaran tidak melahirkan persoalan baru. Jangan sampai, nantinya kebijakan yang diambil justru melahirkan pengangguran baru dan memperparah kemiskinan,” kata Rokhmin.
Pemerintah harus bijak agar penanganan pencemaran tidak melahirkan persoalan baru. Jangan sampai, nantinya kebijakan yang diambil justru melahirkan pengangguran baru dan memperparah kemiskinan.
Teluk Jakarta, seperti juga laut pada umumnya, merupakan tempat terakhir segala jenis limbah pada akhirnya bermuara. Sebanyak 85 persen limbah yang masuk ke laut berasal dari aktivitas manusia di darat dan 15 persen berasal dari aktivitas manusia di laut.
Limbah dari aktivitas manusia di darat masuk ke laut melalui aliran sungai, luapan air ketika hujan, dan distilasi atmosfer. Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai yang membelah Jakarta.
Menurut Rokhmin, ke-13 aliran sungai itu berkontribusi membawa 65 persen limbah aktivitas manusia di darat ke laut. Limbah industri, rumah tangga, dan pertanian yang dibuang warga Jakarta dan sekitarnya ke sungai pada akhirnya sampai ke laut melalui sungai.
Penelitian dosen Institut Pertanian Bogor, Etty Riani, menunjukkan, kandungan logam berat merkuri (Hg) ikan ataupun kerang-kerangan di Teluk Jakarta melebihi batasan yang dapat ditoleransi. Bahkan, kerang hijau disarankan tidak dikonsumsi karena konsentrasi logam beratnya paling tinggi.
Logam berat, merkuri, kadmium, timbel, krom, dan timah masuk ke tubuh ikan melalui permukaan tubuh, pada insang, atau melalui proses makan-memakan. Logam berat itu kemudian terakumulasi dalam organ tubuh dan bersifat irreversible atau tidak dapat lepas (Kompas, 25/2/2019).
Dalam acara Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, Selasa (25/2/2019), Etty mengatakan, khusus untuk ikan, masyarakat masih boleh mengonsumsinya. Hanya saja, masyarakat harus jeli melihat konsentrasi logam berat yang ada di dalamnya dan menghitung berapa jumlah yang boleh dikonsumsi.
Ketika akan membeli ikan, Etty menyarankan masyarakat lebih dulu melihat organ dalam ikan tersebut. Jika organ dalam ikan tampak pucat, kasar, dan mudah hancur ketika ditekan, berarti ada kemungkinan biota laut tersebut terpapar logam berat.
”Ikan baik untuk membangun kecerdasan anak. Jangan takut makan ikan, tetapi pandailah memilih ikan. Pandailah juga menjaga ikan sehingga bisa jadi komoditas yang menyehatkan, mencerdaskan, dan memakmurkan,” ujarnya.
Bisa pulih
Peristiwa pencemaran logam berat juga pernah terjadi di Teluk Minamata, Jepang, pada 1956. Langkah tegas Pemerintah Jepang yang kala itu melarang semua perusahaan membuang limbah logam berat ke laut, perlahan membuat Teluk Minamata perlahan mendekati keadaan pulih.
”Alam punya kemampuan menyembuhkan diri asalkan kita mau menghentikan kebiasaan buruk. Mulai dari level rumah tangga, semua jenis sampah harus dikelola dengan disiplin agar tidak berdampak buruk bagi lingkungan,” kata Rokhmin.
Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, tidak mudah menangani pencemaran di Teluk Jakarta. Pengawasan limbah dari hulu ke hilir belum terintegrasi dengan baik.
”Penanganan soal pencemaran tidak bisa dilepaskan dari kerja sama hulu ke hilir. Kesadaran masyarakat perlu segera dibangkitkan agar masalah itu bisa lebih cepat ditangani bersama,” ucap Andono. (PANDU WIYOGA)