Penyiapan Saksi TPS Terkendala Biaya
JAKARTA, KOMPAS — Tim sukses kandidat calon presiden-wakil presiden dan sejumlah partai politik peserta pemilihan legislatif menghadapi kendala pembiayaan saksi yang melonjak. Peserta Pemilu 2019 yang modalnya terbatas berharap kepada pengawas yang direkrut dan dibiayai Badan Pengawas Pemilu untuk membantu mengamankan perolehan suara.
Kondisi ini ditemukan di kedua belah pihak, baik di tim sukses dan koalisi partai pendukung pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Bendahara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Thomas Djiwandono, mengatakan, saat ini BPN masih berusaha menggalang dana untuk membiayai saksi pemilu. Saksi ini akan ditugaskan mengawasi proses pemungutan hingga penghitungan suara di tiap tempat pemungutan suara (TPS) pada 17 April 2019 mendatang.
Ini bagian terberat karena biayanya diprediksi sangat besar dan memakan porsi terbanyak dari total penggunaan dana kampanye.
Meningkatnya biaya saksi disebabkan bertambahnya jumlah TPS. Pada Pemilu 2019, jumlah TPS meningkat drastis menjadi 805.062 lokasi. Sebagai perbandingan, pada Pemilihan Legislatif 2014, jumlah TPS ada 544.494, sedangkan pada Pemilihan Presiden 2014 ada 478.829 TPS.
”Jika ingin suara benar-benar aman, minimal harus ada dua saksi. Saya belum bisa memastikan berapa biayanya karena ini tergantung dari hasil penggalangan dana,” kata Thomas.
Thomas mengatakan, BPN berencana membantu biaya saksi pileg untuk partai-partai koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga. Namun, koalisi masih mencari solusi karena dana belum terkumpul. Melihat situasi yang berkembang, ada kemungkinan saksi caleg partai pendukung juga dikerahkan menjadi saksi Prabowo-Sandiaga. ”Formulanya masih kami bahas,” katanya.
Dengan asumsi upah per saksi Rp 200.000 per orang dan ada dua saksi per TPS, biaya yang harus disiapkan tiap partai dan timses untuk menjaga 805.062 TPS bisa berkisar Rp 322,02 miliar. Di lapangan, jumlah saksi yang disiapkan bisa lebih dari dua orang per TPS karena partai dan timses juga menyiapkan ”saksi bayangan” untuk memantau di luar TPS.
Di pihak Jokowi-Ma’ruf, beban urusan saksi didistribusikan ke partai-partai pendukung. Wakil Direktur Saksi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Lukman Edy, mengatakan, ada 22 juta saksi resmi yang akan dikerahkan TKN di 805.062 TPS. TKN menyediakan 2 juta saksi, sementara 20 juta saksi lainnya dibebankan kepada 10 partai koalisi pendukung.
Terkait dengan pembiayaannya, Lukman mengatakan, saksi dari partai menjadi tanggung jawab masing-masing partai dan caleg. Untuk saksi yang disiapkan TKN, pembiayaannya diurus TKN dengan mengandalkan sumbangan dari tim kampanye daerah (TKD). Saksi akan merangkap tugas untuk mengawasi suara partai masing-masing dan suara Jokowi-Ma’ruf.
Wakil Bendahara Umum Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan mengatakan, perekrutan saksi dari partai sudah mencapai 90 persen. Awal Maret, nama-nama saksi akan disetor ke Bawaslu untuk dilatih. Namun, tantangan terbesar adalah pendanaan saksi. Biaya saksi menjadi lebih besar karena mereka juga bertanggung jawab untuk mengawasi suara pilpres.
Apalagi, PKB tidak hanya menyediakan saksi resmi sebanyak dua orang per TPS, tetapi juga saksi bayangan yang jumlahnya bisa mencapai lima orang per TPS. Daniel berharap ada bantuan dana dari TKN untuk membayar saksi yang disediakan partai. Namun, sejauh ini bantuan belum turun. Di tengah kondisi itu, ia berharap kepada pengawas TPS dari Bawaslu untuk membantu proses pengamanan suara.
”Belum ada bantuan dari TKN. Kami berharap ada, mestinya itu otomatis, tetapi kami tunggu saja sampai sekarang belum final rumusannya mau seperti apa. Kami berharap kepada pengawas Bawaslu saja,” kata Daniel.
Pengawas Bawaslu
Menurut peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhani, pendanaan saksi TPS oleh partai sebenarnya bisa ditekan dengan mengandalkan pengawas TPS yang direkrut Bawaslu dan dibiayai negara.
”Itu sebetulnya bisa menjawab tantangan saksi peserta pemilu, termasuk kendala menyiapkan biaya yang besar. Kalau sudah seperti itu, sebenarnya peserta pemilu tidak perlu lagi menyiapkan saksi per TPS karena memang biayanya akan sangat mahal kalau ditanggung sendiri,” kata Fadli.
Kendati demikian, proses perekrutan pengawas oleh Bawaslu juga tidak berjalan lancar. Di sejumlah daerah, perekrutan ini tidak mudah dilakukan karena terganjal syarat usia. Bawaslu kesulitan mencari orang yang memenuhi syarat usia tersebut yang ingin menjadi pengawas di TPS saat hari pemungutan suara.
Berdasarkan Pasal 117 Undang-Undang Pemilu, syarat usia menjadi pengawas TPS minimal berusia 25 tahun. Selain itu, mereka harus berpendidikan paling rendah sekolah menengah atas (SMA). Mengacu Pasal 90 UU Pemilu, pengawas TPS paling lambat dibentuk 23 hari menjelang hari pemungutan suara. Artinya, pengawas TPS harus sudah tersedia sebelum 26 Maret 2019.
”Kami masih memiliki kendala terkait dengan ketentuan minimal usia 25 tahun untuk perekrutan di daerah-daerah tertentu. Kami akan perpanjang proses perekrutan kalau sampai waktu yang ditetapkan belum terpenuhi. Tetapi, kami optimistis mudah-mudahan semua kebutuhan pengawas TPS terpenuhi,” kata Ketua Bawaslu Abhan.
Fadli mengatakan, sebagai solusi kendala perekrutan pengawas, Bawaslu dapat berkolaborasi dengan banyak pihak, seperti organisasi masyarakat keagamaan dan kepemudaan di daerah. Kader-kader organisasi itu biasa direkrut untuk menjadi pengawas TPS. ”Yang penting, syaratnya mereka harus netral, tidak berpihak,” ujarnya.