Benahi Mutu Fakultas untuk Tingkatkan Kualitas Lulusan
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembenahan mutu fakultas kedokteran melalui sistem yang tepat mutlak dibutuhkan. Pasalnya, mutu fakultas kedokteran menentukan kualitas lulusan dokter yang dihasilkan. Jika kualitas lulusan tidak terjamin, layanan kesehatan ke pasien pun dipertaruhkan.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Kamis (28/2/2019) di Jakarta, menyatakan, kuantitas lulusan dokter bukan lagi menjadi masalah saat ini. Namun, masalah utama yang dihadapi adalah jaminan kualitas dokter yang dihasilkan.
“Kita mungkin tidak perlu lagi jumlah (lulusan dokter), tetapi yang kita perlu adalah kualitas. Jumlah lulusan dokter per tahun sekarang sekitar 12.000 orang,” ujarnya dalam perayaan Dies Natalis ke-69 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta, Kamis.
Untuk itu, Nila menyarankan agar Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti) membatasi pembukaan fakultas kedokteran baru saat ini. Pembenahan mutu pendidikan kedokteran dinilai lebih mendesak untuk dilakukan.
“Bagaimana kalau pendidikan kita ini tidak berkualitas? Akreditasi sudah kita berikan tetapi malpraktik masih terjadi cukup banyak. Kita butuh tenaga kesehatan yang berkualitas. Kalau fakultasnya tidak bagus, ya, dikasih kuota. Karena ini menyangkut nyawa,” katanya.
Nila berharap, dokter di Indonesia mampu menegakkan integritas profesi. Dengan integritas, dokter akan mengusahakan yang terbaik dalam mengamalkan sumpahnya dan mematuhi standar etik profesi dokter.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Bambang Supriyatno menyebutkan, moratorium atau seleksi pembukaan fakultas kedokteran diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan kedokteran di Indonesia. Bersamaan dengan moratorium, pemerintah bisa memberikan pembinaan dan pelatihan bagi fakultas kedokteran yang mutunya masih kurang.
Data Kemristek dan Dikti per Agustus 2018 mencatat, dari 83 fakultas kedokteran masih ada sekitar 23 persen yang terakreditasi C. Artinya, pemerintah perlu berupaya keras agar mutu fakultas ini bisa ditingkatkan. Jika program studi kedokteran baru dibuka kembali, beban pemerintah pun semakin tinggi.
Selain itu, Bambang menambahkan, masalah lain yang dijumpai adalah mutu dari lulusan fakultas kedokteran tersebut. Setengah dari seluruh fakultas kedokteran yang ada, lulusan yang lolos dalam uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter (UKMPPD) kurang dari 75 persen. Bahkan, ada 11 fakultas dengan akreditasi C belum meluluskan dokter dalam uji kompetensi itu.
Direktur Penjaminan Mutu Kemristek dan Dikti Aris Junaidi menyatakan, pembatasan pembukaan fakultas kedokteran akan dilakukan pada daerah-daerah yang jumlah ketersediaanya sudah cukup, bahkan melebihi kebutuhan. Namun, daerah dengan jumlah dokter yang masih kurang lebih terbuka untuk mendaftarkan fakultas kedokteran baru.
“Tentu, untuk mendapatkan izin, program studi ini harus memenuhi syarat yang ditentukan, mulai dari kualitas sarana prasarana, rasio dosen dan mahasiswa, serta wahana pendidikan yang disediakan. Dan umumnya kalau diizinkan itu masih di bawah binaan Kemristekdikti. Kemudian, setelah dua tahun harus melakukan akreditasi,” katanya.
Menurut Bambang, yang menjadi persoalan saat ini adalah distribusi dokter yang tidak merata. Jumlah dokter yang memiliki surat tanda registrasi (STR) ada sekitar 134.000 orang. Itu berarti, rasio dokter dengan masyarakat mencapai 1:1.900 atau satu dokter melayani 1.900 pasien. Hitungan ini melebih angka ideal, yakni 1:2.500.
Sementara, rasio dokter yang memenuhi angka ideal tersebut baru terpenuhi di 10-11 provinsi saja. Mayoritas dokter justru terpusat di provinsi tertentu, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.
Nila mengatakan, masalah distribusi ini akan diselesaikan melalui beberapa skema tertentu. Salah satu skema yang sudah dijalankan adalah program Nusantara Sehat. Program ini bertujuan untuk menguatkan pelayanan kesehatan primer melalui peningkatan jumlah, sebaran, komposisi, dan mutu tenaga kesehatan.
“Secara khusus, program ini mendayagunakan tenaga kesehatan berbasis tim ke sejumlah daerah yang minim tenaga kesehatan, khususnya daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Sudah ada 8.000 tenaga kesehatan yang menjalankan program Nusantara Sehat. Sekitar 80 persen diantaranya malah meminta kembali untuk ditugaskan di lokasi itu,” ujarnya.