JAKARTA, KOMPAS — Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar (nonaktif) Eni Maulani Saragih akan menghadapi pembacaan putusan terkait perkara korupsi dalam proyek pembangunan pembangkit listrik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (1/3/2019).
Bagian Humas Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, di Jakarta, mengonfirmasi pembacaan putusan Eni itu. Susunan majelis hakim perkara ini terdiri dari Ketua Majelis Hakim Yanto dengan anggota Hariono, Hastopo, Anwar, dan Ansyori Syarifudin.
Pada 6 Februari lalu, Eni dituntut jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi dengan pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider empat bulan kurungan. Eni juga dituntut membayar uang pengganti Rp 10,35 miliar dan 40.000 dollar Singapura serta dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun.
Jaksa menilai perbuatan Eni melanggar Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Selain itu, perbuatan Eni dinilai melanggar Pasal 12 B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, Eni didakwa menerima uang Rp 4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR, Ltd) Johanes Budisutrisno Kotjo. Uang tersebut diduga untuk menggerakkan Eni agar Kotjo bisa memperoleh proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1).
Selanjutnya, Eni beberapa kali memfasilitasi pertemuan antara Kotjo dan pimpinan PLN terkait pembahasan lanjutan proyek tersebut. Eni juga melaporkan perkembangan proyek ini kepada mantan Ketua DPR yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.
Namun, setelah Novanto ditahan dalam kasus KTP-elektronik, selanjutnya proyek itu dilaporkan Eni kepada Idrus Marham selaku pelaksana tugas Ketua Umum Golkar pada saat itu. Hal itu bertujuan agar nantinya Eni tetap diperhatikan oleh Kotjo.
Selain itu, Eni diarahkan oleh Idrus untuk meminta uang kepada Kotjo sebesar 2,5 juta dollar AS untuk keperluan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar. Eni menghubungi Kotjo dan meminta uang sejumlah 3 juta dollar AS dan 400.000 dollar Singapura kepada Kotjo.
Tak hanya itu, Eni kembali meminta uang kepada Kotjo Rp 10 miliar. Uang tersebut guna membiayai keperluan pemilihan kepala daerah suami Eni, M Al Khadziq. Seperti diketahui pada saat itu, Khadziq mencalonkan diri menjadi bupati Temanggung. Melalui Audrey, Kotjo hanya memberikan Rp 250 juta kepada Eni.
Jaksa menyebutkan, Eni beberapa kali meminta uang kepada Kotjo. Pada Juli 2018, Eni meminta Rp 500 juta kepada Kotjo. Pemberian uang itu dilakukan langsung di Graha BIP antara Kotjo, Eni, Audrey, dan Tahta. Sesaat setelah pemberian uang tersebut, KPK menangkap tangan dan mengamankan uang itu.
Selain itu, Eni juga didakwa menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura dari sejumlah direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas. (MELATI MEWANGI)