JAKARTA, KOMPAS – Calon anggota legislatif perempuan berupaya meningkatkan keterpilihan mereka di Pemilihan Umum 2019. Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan kesetaraan jender.
Tekad ini disampaikan beberapa calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) daerah pemilihan DKI Jakarta 2, di acara “Perempuan Bersuara: Dialog Caleg Perempuan Merespons Agenda Perlindungan Perempuan” di Jakarta, Minggu (3/3/2019).
Peningkatan keterpilihan itu antara lain dilakukan dengan memastikan caleg perempuan ada di posisi teratas dalam nomor urut calon. Caleg Christina Aryani, mengatakan, hal ini diupayakan kader perempuan di Partai Golongan Karya (Golkar) untuk membantu perjuangan caleg perempuan.
“Partai Golkar ini maskulin sekali. Untuk itu, ketika saya dan Hetifah Sjaifudian dilantik menjadi pengurus DPP Partai Golkar, kami mencoba melobi para kader agar perempuan eksis. Kalau tidak diperjuangkan, perempuan akan kalah. Akhirnya, beberapa belas caleg perempuan kini ada di nomor urut teratas. Ini belum pernah dilakukan sebelumnya,” tutur caleg nomor urut 1 ini.
Masuknya caleg perempuan dalam kontestasi pemilu diharapkan lebih mudah memasukkan agenda kampanye kesetaraan gender. Cara sederhana yang dilakukan untuk menyampaikan pesan itu antara lain dilakukan caleg DPR nomor urut 2 dari Partai Amanat Nasional (PAN) Dian Islamiati Fatwa.
“Misalnya ketika saya datang ke warga untuk kampanye, bapak-bapak menyuguhkan teh. Pekerjaan itu saya apresiasi, karena melayani orang bukan hal yang hina dan hanya bisa dilakukan perempuan. Kesetaraan jender bisa dibangun tidak hanya dengan undang-undang, tapi dengan budaya,” katanya.
Cara seperti itu, menurut Dian juga berpengaruh untuk menampilkan keterwakilan dan isu perlindungan perempuan. “Saat ini, perhatian publik berfokus pada pemilihan calon presiden dan wakil presiden, sehingga isu keterwakilan perempuan di parlemen dan perlindungan perempuan tidak menjadi wacana publik,” ujarnya.
Pekerjaan berat
Peneliti politik dan jender dari Universitas Indonesia Ani Sutjipto mengatakan, caleg perempuan memiliki pekerjaan berat untuk meningkatkan elektabilitas dan mengangkat isu kesetaraan jender. Pendapat tersebut diperhitungkan dengan melihat beberapa situasi pemilu saat ini.
“Keterpilihan perempuan di parlemen untuk Pemilu 2019 tergantung dari dua teori. Ada teori optimistis, ada teori pesimistis,” ucap Ani.
Keterpilihan caleg perempuan di DPR menurutnya bisa sama atau lebih dari persentase di Pemilu 2014 yang mencapai 17,32 persen. Ini bisa didukung standar parliamentary threshold yang mewajibkan partai politik memperoleh minimal empat persen suara nasional. Caleg perempuan yang diusung partai yang banyak dipilih jika mengisi kuota 30 persen atau lebih.
Di samping itu, ada teori pesimistis yang perlu diwaspadai. Standar parliamentary threshold kenyataannya menarik banyak petahana, yang belum tentu bisa merepresentasikan keterwakilan perempuan dengan isunya.
Menurutnya, caleg perempuan juga masih harus menghadapi keriuhan pemilihan presiden yang penuh konflik identitas. “Melihat realitas empiriknya, kita pesimis angka keterwakilan perempuan di DPR nanti bisa naik,” ujarnya.
Persentase perempuan yang menjadi caleg DPR pada Pemilu 2019 memang mengalami peningkatan dibandingkan dengan Pemilu 2014. Persentase keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2019 mencapai 40,08 persen, dengan jumlah 3.200 caleg perempuan dari 7.985 caleg.
Sementara itu, pada Pemilu 2014, ada 37,67 caleg adalah perempuan atau setara dengan 2.467 caleg perempuan dari total 6.607 caleg. Dari pemilu periode tersebut, 93 orang atau 17,32 persen caleg perempuan terpilih.
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, pencalonan perempuan di masing-masing partai peserta pemilu minimal 30 persen. Aturan tersebut diadaptasi dari Pasal 65 UU Nomor 12 tahun 2003, yang pertama kali mengatur keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam pencalonan anggota legislatif. (ERIKA KURNIA)