JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan teknologi dalam jaringan atau daring semakin membuka celah bagi perdagangan satwa liar secara ilegal. Modus yang kian beragam perlu ditangani secara serius untuk dapat memutus mata rantai pelaku secara menyeluruh.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia, memperingati Hari Satwa Liar Sedunia di Jakarta, Minggu (3/3/2019). Spesialis kriminal Wildlife Conservation Society (WCS), Dwi Adhiasto, mengatakan, kasus perdagangan ilegal satwa liar dilindungi semakin sulit ditangani karena fasilitas daring yang dimanfaatkan oleh pelaku.
”Modus perdagangan melalui media sosial dan e-commerce (e-dagang) masih menjadi tantangan terbesar. Hal ini karena transaksi yang terjadi lebih tertutup sehingga perlu pendekatan melalui teknologi untuk mengungkap kasus,” kata Dwi.
Petugas Unit Kriminal Satwa Liar WWF Indonesia, Novi Hardianto, mengatakan, permasalahan ini semakin serius karena temuan kasusnya semakin marak. Sebagai contoh, perputaran uang di kanal e-dagang untuk spesies laut selama Agustus hingga Desember 2018 mencapai Rp 4 miliar.
Ia menyampaikan, perputaran uang sebanyak itu terjadi pada perdagangan kulit penyu ilegal. Jika menghitung hasil olahan dari satwa liar lain, kata Novi, akumulasi perputaran uang di e-dagang bisa lebih besar lagi. ”Kami belum menghitung barang-barang lain yang diperdagangkan di jasa daring. Kulit harimau, misalnya, sekali jual saja bisa dapat sekitar Rp 10 juta,” kata Novi.
Menurut data WWF, selama Januari hingga Juli 2018 terdapat 107 satwa hidup yang diperdagangkan melalui media sosial Facebook. Selain itu, ada 34 bagian tubuh satwa yang juga diperdagangkan di Facebook, seperti gading gajah dan kuku harimau.
Kepala Unit V Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Ajun Komisaris Besar Sugeng Irianto mengatakan, memang ada perubahan pola transaksi yang terjadi selama tiga tahun terakhir. Transaksi yang dulu membutuhkan tatap muka antara pembeli dan penjual kini semakin menghindari pertemuan secara langsung.
”Dari temuan kasus tahun lalu, ada pelaku yang membedakan nomor telepon untuk situs jual-beli dan nomor telepon untuk transaksi. Hal itu dilakukan untuk menyembunyikan identitas,” kata Sugeng.
Sugeng menyebutkan, sedikitnya ada 244 kasus yang ditangkap Bareskrim Polri selama rentang waktu 2014 hingga 2018. Dari jumlah itu, 230 pelaku adalah warga Indonesia, sementara 14 orang sisanya warga negara asing.
Penanganan serius
Dwi mengatakan, kasus perdagangan satwa liar perlu ditangani dengan pendekatan teknologi secara serius. Salah satu solusinya adalah menelusuri pelaku yang menjadi pemasok mata rantai perdagangan. ”Pelaku yang menjadi pemasok mata rantai ini sangat profesional. Jejak transaksi mereka harus ditelusuri melalui internet,” kata Dwi.
Bareskrim Polri tahun lalu membuat aplikasi E-Pelaporan Satwa Dilindungi untuk gawai. Cara ini dinilai Dwi dapat mengundang keterlibatan masyarakat dalam penelusuran mata rantai perdagangan satwa liar secara ilegal.
Sugeng menyampaikan, ada 747 laporan yang terdata dalam aplikasi E-Pelaporan Satwa Dilindungi sampai saat ini. Laporan tersebut akan ditelusuri bertahap oleh Bareskrim Polri dengan menjalin komunikasi kepada pihak pelapor.
”Agar dapat melapor, warga diminta untuk mencantumkan alamat surel. Tujuannya, agar kami dapat menghimpun informasi lebih dalam dari pihak pelapor,” kata Sugeng. (ADITYA DIVERANTA)