Deklarasi Damai Talangsari Tidak Halangi Proses Hukum
Oleh
Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai, deklarasi damai dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat Talangsari tidak menghapus proses hukum yang berjalan. Deklarasi itu merupakan langkah nonyudisial untuk memulihkan nama baik wilayah.
Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), didampingi Amnesty Internasional Indonesia serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), beraudiensi dengan Komnas HAM pada Senin (4/3/2019) siang. Peristiwa Talangsari diingat sebagai peristiwa pembunuhan warga Desa Talangsari, Lampung Tengah, pada 7 Februari 1989.
Hal itu terkait dengan deklarasi damai atau islah penyelesaian kasus Talangsari yang dilakukan Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM bentukan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada 20 Februari 2019.
Komisioner Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Amiruddin, mengatakan, berkas penyelidikan pidana dan rekomendasi terkait kasus Talangsari telah diberikan kepada Kejaksaan Agung sejak Juli 2008.
”Secara hukum, satu-satunya langkah penyelesaian adalah pengadilan HAM, belum ada yang lain,” ucap Amiruddin.
Menurut Amiruddin, langkah deklarasi damai dari tim terpadu Kemenkopolhukam tersebut tidak akan memengaruhi proses hukum di Kejagung. Adapun Komnas HAM akan mengirimkan surat kepada Kemenkopolhukam guna mempertanyakan langkah nonyudisial yang mereka lakukan.
”Kami akan terus mengomunikasikan hal ini karena secara hukum, langkah selanjutnya bukan berada di tangan Komnas HAM,” kata Amiruddin.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Adapun fungsi penyelidikan dijalankan oleh Komnas HAM, sedangkan penuntutan perkara oleh Jaksa Agung.
Sejauh ini, Komnas HAM diketahui melaksanakan fungsi penyelidikan secara yudisial terhadap sejumlah pelanggaran HAM berat dan telah melimpahkannya ke Kejagung. Setidaknya sudah ada tiga kasus pelanggaran HAM berat yang dituntaskan melalui pengadilan HAM, yaitu peristiwa Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura di Papua.
Teranyar, Komnas HAM telah melimpahkan berkas penyelidikan terkait pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong Aceh. Selebihnya, hasil penyelidikan hanya ”mondar-mandir” di Komnas HAM dan Kejagung.
Inisiatif
Sementara itu, Tenaga Ahli Kementerian Hukum dan HAM Sri Purwanto membenarkan adanya deklarasi damai dalam kasus Talangsari. Menurut dia, hal itu merupakan inisiatif dari tokoh masyarakat dan pemerintah daerah yang bersepakat membersihkan nama baik wilayah.
”Tidak semua korban memang terlibat dalam deklarasi itu. Yang pasti, itu adalah inisiatif masyarakat yang tidak senang wilayahnya dicap sebagai daerah bekas pelanggaran HAM,” ucap Purwanto saat dihubungi.
Purwanto mengatakan, langkah nonyudisial tersebut tidak akan menghalangi langkah yudisial yang menjadi ranah Komnas HAM dan Kejagung. Ia menyadari ada banyak pihak yang keberatan dan mempersilakan mereka untuk menuntut penyelesaian kasus tersebut dilanjutkan secara hukum.
”Tidak ada proses hukum yang dihentikan. Jika sudah menyangkut teknis hukum, tidak akan ada intervensi dari kami,” katanya.
Menurut Purwanto, sebelum Talangsari, beberapa langkah nonyudisial juga sudah ditempuh di wilayah lain. ”Rehabilitasi dari Pemda Palu, misalnya. Selain itu juga dilakukan di Aceh dan rencananya akan dilakukan di Papua,” ujarnya.
Bukan pertama
Langkah nonyudisial melalui islah terkait dengan peristiwa Talangsari bukan hal pertama. Menurut Ketua PK2TL Edi Ersadad, tahun 2000 upaya tersebut pernah ditempuh melalui Gerakan Islah Nasional (GIN) bentukan mantan Komandan Korem 043 Garuda Hitam Letnan Jenderal Hendropriyono.
”Ada beberapa keluarga korban seperti Pak Adiwan yang dijanjikan akan diberi tambak, kebun sawit, dan lainnya. Namun, akhirnya tidak dipenuhi,” ujar Edi.
Para keluarga korban menilai, upaya islah oleh Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM Kemenkopolhukam hanya terjalin antara lain dengan Ketua DPRD Lampung Timur, Wakil Bupati Lampung Timur, dan Kepala Polres Lampung Timur. Tokoh masyarakat bernama Supriyadi yang terlibat dalam kesepakatan tersebut dinilai tidak dapat mewakili keluarga korban.
”Sehari sebelumnya saya dihubungi, akan ada evaluasi kasus Talangsari dan kami menyanggupi hadir. Mereka tidak memberi kabar lagi, malahan langsung deklarasi damai tanpa kami,” kata Edi.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, berpendapat, harus ada diskursus khusus di ruang publik terkait dengan alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Jika Kemenkopolhukam berinisiatif menyusun desain penyelesaian secara nonyudisial, seharusnya tidak terbatas pada kasus Talangsari saja.
Tujuannya, agar tidak ada kontroversi terkait dengan hal tersebut. ”Sebab, kalau hanya kasus tertentu tanpa ada kejelasan kasus lainnya akan menimbulkan kontroversi baru,” ujar Arsul saat dihubungi. (FAJAR RAMADHAN)