Kendati Positif, Data Ekonomi Domestik Sulit Topang IHSG
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati positif, data ekonomi domestik serta laporan keuangan emiten sepanjang 2018 sulit menopang Indeks Harga Saham Gabungan pada awal pekan ini. Sebab, situasi ekonomi global masih akan menjadi sentimen utama penggerak IHSG dan pemicu gerak investor sepanjang pekan ini.
Pada pembukaan perdagangan, Senin (4/3/2019), IHSG dibuka menguat 8,38 poin atau 0,12 persen ke 6.508,26. Namun pada jeda perdagangan siang, IHSG terseok di zona merah pada level 6.497,06.
Adapun pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, IHSG menguat 0,88 persen ke level 6.499,88. Sepanjang tahun berjalan hingga akhir pekan lalu, IHSG tumbuh 4,93 persen.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menyampaikan, selain laporan kinerja emiten, stabilitas rupiah jadi sentimen positif IHSG. Data domestik penopang penguatan rupiah salah satunya berkurangnya tingkat inflasi ke level 2,57 persen secara tahunan pada Februari 2019. Pada bulan sebelumnya, tingkat inflasi mencapai 2,82 persen.
Namun, dari sisi sentimen eksternal, investor cenderung akan menunggu perkembangan perundingan dagang AS-China dan rilis data penting, seperti Indeks Keyakinan Konsumen, penjualan ritel, dan cadangan devisa.
”Pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un masih menyisakan ketidakpastian,” kata Hans Kwee.
Kondisi ekonomi global masih akan membebani persepsi dari investor dalam memutuskan pembelian saham di pasar modal Indonesia. Meski fundamen ekonomi domestik baik, IHSG tetap punya potensi berada di zona merah pekan ini.
Investor cenderung akan menunggu perkembangan perundingan dagang AS-China dan rilis data penting, seperti Indeks Keyakinan Konsumen, penjualan ritel, dan cadangan devisa.
Kinerja emiten
Direktur PT Indosurya Bersinar Sekuritas William Surya Wijaya menuturkan, fundamental ekonomi nasional cukup kuat sehingga kinerja emiten pasar modal tumbuh stabil di tengah tantangan global pada 2018 lalu.
”Memang pelemahan nilai tukar rupiah dan kondisi ekonomi global yang tidak terlalu kondusif (sepanjang 2018) menyebabkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri agak melambat. Namun, laba bersih emiten berkapitalisasi besar tetap tumbuh dua digit,” ujarnya.
Pertumbuhan laba bersih terbesar dibukukan PT Unilever Tbk, yaitu sebesar 30,05 persen menjadi Rp 9,12 triliun pada tahun 2018. Sementara di sektor perbankan, laba bersih PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, tumbuh sebesar 21,2 persen menjadi Rp 25,02 triliun pada tahun lalu. Adapun laba PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk meningkat 11,57 persen menjadi Rp 32,35 triliun tahun lalu.
William meyakini, penguatan kinerja emiten dengan kapitalisasi besar bakal berlanjut pada semester pertama tahun ini. Menurut dia, kinerja emiten bakal terdorong setelah triwulan II-2019 atau seusai penyelenggaraan pemilihan presiden.
Kinerja emiten bakal terdorong setelah triwulan II-2019 atau seusai penyelenggaraan pemilihan presiden.
Setelah ada kepastian pemimpin terpilih, pelaku usaha dapat melihat arah kebijakan pemerintah sehingga lebih mudah mengalkulasi rencana ekspansi. ”Kenaikan suku bunga acuan mulai melambat, yang akan menguntungkan industri perbankan,” ujarnya.
Kenaikan suku bunga acuan sepanjang tahun lalu, lanjut William, telah berdampak terhadap bank yang bersaing mengerek suku bunga deposito untuk mengumpulkan dana pihak ketiga. Hal ini berdampak pada tertekannya net interest margin dari perbankan.