PALEMBANG, KOMPAS — Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Palembang Eftiyani menjalani sidang kode etik Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu di Palembang, Sumatera Selatan, Senin (4/3/2019). Eftiyani diadukan karena dinilai telah melanggar kode etik lantaran masuk menjadi saksi salah satu pasangan calon dalam sidang pleno rekapitulasi penghitungan suara Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Sumatera Selatan.
Sidang diketuai Prof Muhammad selaku anggota DKPP bersama Tim Pemeriksa Daerah Provinsi Sumsel yang beranggotakan Junaidi (unsur Bawaslu Sumsel), Febrian (unsur masyarakat), dan Amran Muslimin (unsur KPU Sumsel).
Dalam sidang tersebut, pihak pengadu, yakni Ricky Yudistira, menilai Eftiyani telah melanggar kode etik karena pernah menjadi saksi dalam pleno rekapitulasi penghitungan suara Pemilihan Gubenur-Wakil Gubernur Sumsel tahun 2018. Eftiyani menjadi saksi pasangan calon gubernur Sumsel nomor urut 4, Dodi Reza Alex-Giri Ramanda Kiemas.
Ricky mengatakan, sejumlah alat bukti disediakan, mulai dari surat keputusan mandat dari tim pemenangan pasangan calon nomor 4 untuk menjadi saksi dalam pleno rekapitulasi tersebut. Surat tersebut ditandatangani ketua tim pemenangan pasangan calon nomor 4, Bambang Utoyo Wasista.
Selain itu, menurut Ricky, dirinya juga membuktikan bahwa Eftiyani juga pernah hadir dalam rapat pleno tersebut.
Ricky menilai, tindakan Eftiyani tersebut telah melanggar kode etik. Sebagai penyelenggara pemilu, seharusnya Eftiyani bersikap independen dan tidak berafiliasi dengan partai politik. ”Seharusnya, dalam mengawal demokrasi, penyelenggara pemilu harus bersikap netral,” lanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Eftiyani mengakui bahwa dirinya benar menjadi saksi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumsel, tepatnya pada 8 Juli 2018. Namun, saat itu, dia belum menjabat Ketua KPU Palembang periode 2019-2024. Dia menjadi saksi dalam rapat pleno tersebut dilatarbelakangi permintaan dari tim advokasi pasangan calon nomor urut 4.
”Saat itu, saya diminta menjadi saksi karena saya dinilai berpengalaman dalam hal pemilu,” ujarnya.
Eftiyani pernah menjadi Ketua KPU Kota Palembang periode 2009-2014. Namun, ia menyangkal ikut dalam tim pemenangan Dodi-Giri.
Eftiyani mengakui, dirinya benar menjadi saksi pasangan calon gubernur-wakil gubernur Sumsel pada 8 Juli 2018. Namun, saat itu, dia belum menjabat Ketua KPU Palembang periode 2019-2024.
Eftyani menuturkan, jeda waktu antara dirinya menjadi saksi dan mendaftar menjadi ketua KPU sekitar lima bulan. ”Selama itu juga saya tidak ikut dalam partai politik mana pun,” katanya.
Apalagi, sebelum dilantik, Ketua KPU Arief Yahya sudah mengklarifikasi terkait kabar yang menyatakan dirinya pernah menjadi saksi dalam sidang pleno tersebut.
Sekretaris KPU Sumsel Sumarwan dalam persidangan membenarkan hal tersebut. Bahkan, pelantikan ditunda selama satu jam untuk menunggu hasil keputusan KPU terkait nasib Eftiyani.
”Klarifikasi tersebut diutarakan secara lisan, yang dihadiri sejumlah komisioner KPU RI, Ketua KPU Sumsel, dan Sekretaris KPU Sumsel,” ucapnya.
Ketua Majelis Sidang Kode Etik DKPP Muhammad menyebutkan, pihaknya masih mengkaji setiap keterangan yang disampaikan oleh pengadu, teradu, saksi, dan pihak terkait.
Dia menerangkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, calon anggota KPU tidak boleh berafiliasi dari kegiatan partai politik paling tidak lima tahun.
Kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya, tetapi dengan sanksi berbeda, ada yang sampai pemecatan, tetapi ada juga yang direhabilitasi. Dari hasil sidang ini, akan dikaji untuk diputuskan paling lambat dua minggu setelah sidang.