JAKARTA, KOMPAS - Aktivis Robertus Robet mengaku bersalah terkait orasinya yang ditujukan kepada institusi Tentara Nasional Indonesia. Atas perbuatannya, penyidik menetapkan ia sebagai tersangka pelanggaran pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman maksimal satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pengakuan itu disampaikannya usai pemeriksaan pertama di Markas Besar Kepolisian RI, Kamis (7/3/2019) sore. "Pertama-tama, saya ingin menyampaikan permohonan maaf. Tidak ada maksud saya untuk menghina atau merendahkan institusi TNI yang sama-sama kita cintai," ujarnya kepada jurnalis di Gedung Bareskrim Polri, Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Pada kesempatan itu, ia juga mengaku bahwa orang yang ada di video orasi dalam Aksi Kamisan, Kamis (28/2/2019), di depan Istana Presiden, Jakarta, adalah dirinya. Video yang viral di media sosial, antara lain menampilkan dirinya yang menyanyikan plesetan lagu Mars ABRI (Angkatan Bersenjat RI sebelum berubah menjadi TNI), yang kerap dikumandangkan pada era reformasi 1998.
"Oleh karena orasi itu, saya telah menyingung dan dianggap menghina lembaga atau institusi," tutur dosen di Universitas Negeri Jakarta tersebut.
Pasal 207 KUHP menyatakan, barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menegaskan ada sejumlah unsur yang menguatkan penetapan Robertus sebagai tersangka. "Ia dijerat dengan pasal utama 207 KUHP, itu unsur yang paling kuat setelah gelar perkara oleh penyidik," kata Dedi.
Dari gelar perkara yang dilakukan Rabu (6/3/2019), Robertus terbukti memenuhi pelanggaran pasal 207 KUHP. Hal ini, menurut Dedi, sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pasal itu mengatur lima kriteria hal yang harus dijaga, yaitu hak asasi manusia, moral, perundang-undangan yang berlaku, keamanan dan ketertiban umum.
"Apa yang disampaikan (Robertus) itu tidak sesuai dengan data dan fakta yang sebenarnya dan itu mendiskreditkan salah satu institusi, itu berbahaya. Ketika narasi-narasi yang disampiakn secara verbal melanggar kriteria tersebut, itu adalah perbuatan melawan hukum. Karenanya, penyidik menerapkan pasal 207 KUHP," jelas Dedi.
Laporan modelA
Penyidikan perkara yang dikenakan kepada Robertus, menurut Dedi, dilakukan setelah polisi membuat Laporan Polisi Model A. "Penangkapan ini, saya sampaikan kepada rekan-rekan, adalah laporan polisi model A," kata dia.
Laporan Polisi Model A adalah laporan yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui, atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi. Ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Penerapan model laporan ini, menurutnya, dilakukan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002, yang mengatur tugas kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum.
"Ketika sudah ada indikasi atau suatu peristiwa yang mengganggu ketertiban umum, maka polisi harus hadir. Oleh kerenanya, polisi secara proaktif membuat Laporan Polisi Model A untuk dapat melakukan langkah-langkah pengakan hukum, menjamin keamanan, dan ketertiban masyarakat, baik yang ada di medsos dan yag ada dunia nyata," terangnya.
Setelah laporan itu, polisi membuat surat penangkapan yang kemudian dieksekusi pada Kamis dini hari, sekitar pukul 00.30. Robertus dijemput pihak kepolisian di kediamannya di Depok, Jawa Barat, untuk dimintai keterangan sebagai terperiksa.
Setelah dipanggil dan dimintai keterangan tim penyidik di Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Robertus mengaku bersalah atas dugaan pidana yang telah dilakukan gelar perkara sebelumnya. "Penyidik sudah melakukan upaya pra penyidikan, sudah dilakukan secara komprehensif. Jadi, sudah ada gelar perkara, pemeriksaan awal oleh saksi dari ahli hukum pidana dan saksi ahli bahasa. Itu untuk untuk menguatkan kontruksi hukum penyidik, sehingga penyidik yakin bisa melakukan penjemputan paksa pada malam itu juga," jelas Dedi.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Robertus tidak ditahan karena pidana yang disangkakan tidak mensyaratkan penahanan, sebagaimana diatur dalam pasal 20 KUHP. Robertus juga tidak dikenakan wajib lapor selama penyidikan terus berjalan.
Berikutnya, penyidik menelusuri penyebar video orasi Robert dan dugaan adanya ancaman kepadanya dari oknum tertentu. (ERIKA KURNIA)