Robertus Robet Mendapat Dukungan Banyak Elemen Masyarakat
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dosen Universitas Negeri Jakarta sekaligus aktivis hak asasi manusia, Robertus Robet, mendapat dukungan masyarakat usai ditangkap polisi. Para pendukungnya dari berbagai elemen masyarakat terus mendampingi Robertus, termasuk selama menjalani proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan di Markas Besar Kepolisian RI.
Polisi menangkap Robertus pada Rabu (6/3/2019) sekitar pukul 11.45. Ia diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan pelanggaran Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hal itu terkait orasinya dalam aksi damai Kamisan yang mengkritisi Rancangan Undang-undang Tentara Nasional Indonesia pada 28 Februari 2019.
Di antara pendukung yang memberi bantuan hukum pada Robertus adalah Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi. Tim tersebut terdiri dari Kontras, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Indonesian Legal Roundtable, Lokataru Kantor Hukum dan HAM, AJAR, Amnesty Internasional Indonesia, Protection Internasional, hakasasi.id, Perludem, Elsam, sorgemagz.com, Solidaritas Perempuan, dan Jurnal Perempuan.
Selain itu, ada juga Aliansi Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang terdiri dari rekan seprofesi Robertus sebagai pengajar sosiologi di universitas tersebut. Koordinator Aliansi Dosen UNJ Ubedilah Badrun mengatakan, sekitar 10 orang dari aliansi tersebut turut mendampingi Robertus yang diperiksa di Direktorat Tindak Pidana Siber, Gedung Bareskrim Polri.
"Kami Aliansi Dosen Universitas Negeri Jakarta untuk Demokrasi menyatakan dukungan kepada Robertus Robet. Kami menolak segala bentuk teror oleh negara dan pembungkaman kebebasan berekspresi dalam rangka menegakkan negara hukum dan demokrasi," katanya saat dihubungi Kamis (7/3/2019).
Kami menolak segala bentuk teror oleh negara dan pembungkaman kebebasan berekspresi dalam rangka menegakkan negara hukum dan demokrasi.
Menurut keterangan resmi yang disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, Robertus ditangkap pada Kamis (7/3/2019), pukul 00.30, dengan dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.
Robert diduga menghina institusi TNI saat berorasi di depan Istana Negara. Aksi itu dinilai melanggar Pasal 45 Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dan atau Pasal 14 Ayat (2) juncto Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Perkara ini berawal dari unggahan video orasi Robertus pada Aksi Kamisan di depan Istana Presiden, pada 28 Februari 2019, di media sosial. Pada aksi tersebut, Robertus menyanyikan potongan pelesetan Mars ABRI yang dibuat pada era reformasi 1998 untuk menolak dwi fungsi ABRI.
Menurut Aliansi Dosen UNJ, maksud Robertus menyanyikan lagu tersebut adalah untuk mengingatkan kembali bahwa penghapusan dwi fungsi ABRI adalah salah satu agenda utama Reformasi 1998. Ini juga untuk menyinggung pemerintah yang hendak mengakomodasi TNI untuk bisa kembali memasuki jabatan sipil.
Para pendukung menilai, sikap Robertus itu sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang diatur UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 E Ayat (2). Pasal itu menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Selanjutnya dalam Ayat (3) juga dikatakan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berekspresi juga dijamin dan dilindungi oleh Pasal 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan.
Pasal 3 UU itu berbunyi, setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Meneruskan dialog
Selain sebagai bentuk kebebasan berekspresi, sikap Robertus juga merupakan bentuk dialog yang seharusnya diakomodir di era demokrasi. Hal itu menjadi salah satu alasan pendukung Robert yang lain, seperti Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
"Dwi-fungsi ABRI adalah masa lalu yang tidak boleh kembali lagi di era demokrasi, di mana proses dialog dan perdebatan serta argumentasi menjadi pedoman bersama di dalam bernegara, bukan melulu kekuatan apalagi kekuatan bersenjata," kata Juru Bicara PSI Surya Tjandra yang dihubungi hari ini.
Selain sebagai bentuk kebebasan berekspresi, sikap Robertus juga merupakan bentuk dialog yang seharusnya diakomodir di era demokrasi.
Untuk itu, PSI turut menolak penangkapan Robertus dan meminta aparat kepolisian untuk segera membebaskannya dari segala tuduhan pidana.
"Terlepas dari lagu yang dinyanyikannya tersebut, Robertus sesungguhnya hanya menyampaikan kritik terkait gagasan beberapa kalangan untuk menempatkan kembali militer ke dalam posisi sipil, yang mengingatkan kembali pada apa yang dulu dikenal dengan \'dwi-fungsi ABRI\', di mana tentara bisa terlibat dalam fungsi sosial politik selain keamanan," kata Surya. (ERIKA KURNIA).