JAKARTA, KOMPAS - Perang dagang antara dua kekuatan besar ekonomi dunia, yakni Amerika Serikat dan China, tidak akan menguntungkan siapa pun. Bahkan, perang dagang keduanya bisa menggoyahkan perekonomian negara lain.
Duta Besar Keliling Singapura, Chan Heng Chee, menyampaikan hal itu dalam diskusi publik di Kantor Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Jumat (8/3/2019). Ia mengatakan, 40 persen dari total produksi dunia dikuasai AS dan China atau setidaknya 50 persen dari total pertumbuhan (ekonomi) dunia.
Menurut Heng Chee, akses pasar dan perlindungan terhadap properti intelektual merupakan dua isu utama penyebab ketegangan China dan AS, juga China dan Uni Eropa. "Kedua isu itu perlu ditemukan solusinya setiap saat," katanya.
Dunia sedang dilanda oleh rasa ketidakpastian mengenai bagaimana perang dagang antara Amerika Serikat dan China akan berlangsung ke depan. Perang antardua kekuatan keduanya bisa menggoyahkan perekonomian dunia.
"Apabila masing-masing menarik diri ke dalam lingkungan yang eksklusif, maka dampaknya dapat menghancurkan perekonomian negara lain. Itu sebabnya, dunia menyaksikan perkembangan AS-China dengan sangat cermat," tutur Heng Chee, Dubes Singapura untuk AS tahun 1996-2012.
Melalui ambisinya bertajuk Made in China (Buatan China) 2025, China memiliki aspirasi yang salah satunya menjadi pemain atau pelaku di bidang kecerdasan buatan (AI) nomor satu di dunia. Hal tersebut telah menjengkelkan AS dan sejumlah sekutunya.
Sejumlah pimpinan perusahaan multinasional menganggap bahwa ambisi China itu tidak adil. "Teknologi asing tidak hanya ditransfer dan dicerna (oleh China), tetapi juga diupayakan agar teknologi itu menjadi milik China melalui proses indigenisation," ucap Heng Chee.
Berdasarkan informasi dari platform daring tanya jawab, Quora, seorang pengusaha menjelaskan, indigenisation of technology itu lebih dari sekedar memproduksi produk teknologi berdasarkan desain dan material dari luar negeri. Produser lokal itu memahami cara teknologi itu bekerja dan mampu memodifikasi produksi berdasarkan kebutuhan.
Hong Chee mengakui, isu properti intelektual tidak mudah diatasi. Ada banyak pekerja asing dari China dan India yang kerja di perusahaan di Silicon Valey, pusat perusahaan rintisan di AS.Mereka telah berkontribusi pada pengembangan teknologi yang diciptakan oleh perusahaan di sana. Meskipun perusahaan memiliki hak properti intelektual, pekerja asal China dan India dapat kembali ke negaranya dan membawa serta pengetahuan dan keterampilan teknologi itu.
"Kini, China telah mengakumulasi kekuatan ekonomi, teknologi, dan militer yang cukup besar. Kekuatan itu menantang struktur kekuatan global. Sekarang sebenarnya adalah kompetisi untuk melihat siapa yang akan mendominasi dunia," tutur Heng Chee.
Untuk alasan keamanan, AS telah melarang pegawai pemerintah untuk menggunakan produk dan layanan Huawei. Produk dari perusahaan China itu dituduh dapat dimanfaatkan oleh China untuk memata-matai AS.
Bagi AS, ujar Heng Chee, pemerintah China dapat meminta data kepada perusahaan China dan perusahaan itu diwajibkan untuk memberikannya. "Melalui teknologinya, Huawei tentunya memiliki koleksi data yang besar. Itu adalah alasan yang dinyatakan oleh AS," katanya.
Selain itu, Huawei juga diperkirakan akan menjadi pelaku global dalam pengembangan dan penerapan teknologi jaringan super cepat 5G. Teknologi itu dikatakan memungkinkan penggunaan AI secara lebih luas.
Bagi Dino Patti Djalal, Mantan Wakil Luar Negeri, tuduhan AS terhadap produk Huawei itu belum diketahui kebenarannya. Belum ada studi atau pun ahli yang menunjukkan bahwa teknologi Huawei dapat digunakan untuk memata-matai. Sejumlah negara pun menolak tekanan AS yang meminta negara lain untuk melarang penggunaan produknya.
Pada Kamis (7/3/2019), setelah mendaftarkan gugatan kepada Pemerintah AS atas tuduhan tanpa buktinya, Huawei menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah disuruh oleh Pemerintah China untuk mengumpulkan data intelijen.
Undang-Undang China memang mengharuskan perusahaan untuk menyerahkan data atas permintaan pemerintah, namun hal itu hanya dalam rangka mengatasi terorisme atau kegiatan kriminal lainnya. (AFP)