Parlemen Tolak Kesepakatan Baru, Masa Depan Inggris Makin Tak Pasti
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
LONDON, RABU — Mayoritas anggota Parlemen Inggris kembali menolak kesepakatan Brexit terbaru yang diajukan Perdana Menteri Theresa May, Selasa (12/3/2019), dengan perbedaan suara sebanyak 149 suara. Sebagian besar anggota Parlemen Inggris menganggap tidak ada perubahan sama sekali dalam kesepakatan Brexit baru atau yang telah direvisi itu.
Pada Senin (11/3/2019), setelah bertemu dengan Presiden Komisi Eropa Jean-Claiude Juncker di Strasbourg, Perancis, May mengklaim bahwa UE telah memberikan jaminan hukum terkait dengan isu backstop, yang mengatur perbatasan antara Irlandia (negara anggota UE) dan Irlandia Utara (bagian dari negara Inggris Raya).
Sebagian anggota Parlemen Inggris tidak yakin bahwa jaminan hukum yang diklaim itu cukup untuk mengeliminasi risiko Inggris terikat dengan peraturan UE dalam jangka waktu tak terbatas. Dengan alasan utama itu, sebanyak 391 suara menolak mendukung kesepakatan Brexit dalam pemungutan suara kemarin. Hanya ada 242 suara yang mendukung.
Dalam sesi diskusi pada Selasa (12/3/2019) di Ruang Dewan Rakyat, London, pemimpin oposisi, Jeremy Corbyn, menggarisbawahi klaim May yang menyatakan kesepakatan baru tersebut hanya ”mereduksi” dan tidak ”mengeliminasi” risiko itu. Ia menginginkan kesepakatan Brexit yang betul-betul menjamin kepentingan Inggris.
Kesepakatan baru tersebut hanya ’mereduksi’ dan tidak ’mengeliminasi’ risiko itu. Ia menginginkan kesepakatan Brexit yang betul-betul menjamin kepentingan Inggris.
Bagi Corbyn, kesepakatan Brexit baru itu sama sekali tidak membawa perubahan ataupun progres baru dibandingkan dengan kesepakatan Brexit sebelumnya yang ditandatangani May dan UE pada November 2018.
Pada Januari 2019, kesepakatan itu ditolak secara lebih keras dibandingkan dengan pemungutan suara kemarin. Perbedaan suara saat itu sebesar 230. Pemungutan suara bersejarah itu merupakan kekalahan terbesar Pemerintah Inggris di parlemen.
Corbyn, yang juga Ketua Partai Buruh, menambahkan, berdasarkan laporan berita yang beredar, jaminan hukum terkait backstop itu hanya diklaim May dan belum ada konfirmasi UE. Dari sebagian besar pemberitaan yang mengutip pernyataan Juncker, Senin kemarin, setelah bertemu May, ia hanya menyatakan, UE mendesak anggota Parlemen Inggris untuk mendukung kesepakatan Brexit. Ia juga mengancam tidak akan mengadakan negosiasi terkait dengan Brexit untuk ketiga kalinya.
Hasil pemungutan suara kemarin semakin membawa hawa ketidakpastian pada masa depan negara dengan kekuatan ekonomi nomor lima terbesar di dunia. Belum ada kepastian sama sekali apabila Inggris akan keluar dari UE tanpa kesepakatan, atau apabila tenggat waktu penerapan Brexit yang ditetapkan pada 29 Maret 2019 akan ditunda. Ada pula wacana tentang kemungkinan digelarnya referendum serta pemilihan umum baru.
Parlemen Inggris kini menghadapi jalan buntu.
Menanggapi penolakan parlemen terhadap usulan kesepakatan Brexit-nya, May mengatakan, Parlemen Inggris kini menghadapi jalan buntu. ”Apakah Anda ingin mencabut Pasal 50 (yang mengumumkan niat Inggris untuk keluar dari UE)? Apakah Anda ingin mengadakan referendum kedua? Atau apakah Anda ingin keluar dari UE dengan kesepakatan lain?” katanya.
Kepala negosiator Brexit UE Michel Barnier menyampaikan melalui akun Twitter, ”UE telah melakukan semua yang dapat dilakukan untuk membantu Inggris keluar dengan kesepakatan. Kebuntuan itu hanya dapat diselesaikan di Inggris. Persiapan untuk mengantisipasi keluarnya Inggris dari UE tanpa kesepakatan kini semakin penting”.
Juru bicara Presiden Dewan Eropa Donald Tusk menambahkan, Tusk menuntut alasan yang dapat dipercaya dari Inggris apabila tenggat pelaksanaan Brexit hendak ditunda. ”UE akan mengharapkan alasan yang kredibel untuk kemungkinan diperpanjangnya tenggat waktu itu,” katanya.
Parlemen Inggris akan menggelar pemungutan suara lagi pada Rabu (13/3/2019) untuk memilih apakah Inggris akan keluar dari UE tanpa kesepakatan. Apabila ditolak, Parlemen Inggris akan melakukan pemungutan suara lagi pada Kamis (14/3/2019) untuk memilih apakah tenggat pelaksanaan Brexit akan diperpanjang atau tidak. (REUTERS)