Pembangunan Kota Cirebon, Jawa Barat, dalam beberapa waktu terakhir semakin timpang. Pengembangan kota dan kegiatan perekonomian masih terpusat di wilayah utara dan tengah. Butuh pemerataan pembangunan agar semua warga bisa merasakan hidup sejahtera.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pembangunan Kota Cirebon, Jawa Barat, dalam beberapa waktu terakhir semakin timpang. Pengembangan kota dan kegiatan perekonomian masih terpusat di wilayah utara dan tengah. Butuh pemerataan pembangunan agar semua warga bisa merasakan hidup sejahtera.
Ketimpangan itu tampak di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, wilayah paling selatan, Kamis (14/3/2019). Meskipun hanya berjarak 7 kilometer dari pusat pemerintahan Kota Cirebon, jalan menuju kampung masih rusak. Aspalnya berlubang. Warga menambal lubang jalan dengan batu dan pasir sembari meminta uang dari pengendara yang lewat.
Di sekitar Sungai Kalijaga, sampah menumpuk. Ketika melintasi jalan Kampung Kopi Luhur, bau busuk menyengat. Daerah itu dijadikan tempat pembuangan akhir sampah lebih dari 300.000 warga kota.
Selain pengangkut sampah, truk pasir juga hilir mudik di daerah itu. Pasir didapatkan dari perbukitan yang digali di Argasunya. Perbukitan yang masih dipadati pepohonan pun tampak menganga di beberapa titik.
Daerah tersebut dulunya merupakan sentra galian pasir. Sejak pemkot menerbitkan Surat Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 16 Tahun 2004, aktivitas galian pasir sebenarnya dilarang.
Menurut Ketua RW 006 Kedung Krisik Selatan, Argasunya, Ujang Fredi, sebagian besar penduduk Argasunya bekerja sebagai kuli angkut pasir. Penduduk kelurahan itu sebanyak 18.541 jiwa.
”Penghasilan sebagai kuli pasir bisa lebih dari Rp 100.000 per hari. Di sini pembangunan lamban, jadi pilihan pekerjaan sedikit,” ujarnya.
Ujang menyebutkan, sejumlah kampung masih kesulitan mengakses air bersih. Sementara sekolah menengah atas hanya terdapat di pusat Kecamatan Harjamukti. Tidak ada angkutan umum yang menjangkau Argasunya. Ia berharap, pengembangan kota juga dilakukan di sana.
Sebaliknya, di bagian utara dan tengah kota, kondisinya sesak dengan pembangunan. Terdapat sembilan mal, lebih dari 50 hotel, dan sekitar 200 restoran di sana. Kantor pemerintah juga berada di daerah itu.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (BP4D) Kota Cirebon Arif Kurniawan mengakui, wilayah selatan kota masih tertinggal. ”Akibatnya, rasio gini kita tumbuh negatif,” ucap Arif dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota Cirebon 2020, Kamis.
Rasio gini, koefisien yang menunjukkan kesenjangan pendapatan dan kekayaan, di Kota Cirebon semakin lebar. Tahun lalu, rasio gini mencapai 0,41. Angka ini naik dibandingkan tahun 2016, yakni 0,4. Padahal, pada 2013, rasio gini hanya 0,38.
Semakin mendekati angka 0 menunjukkan ketimpangan semakin kecil. Pemkot menargetkan rasio gini kota seluas 37 kilometer persegi itu turun menjadi 0,4 tahun ini.
Meskipun rasio gini semakin lebar, BP4D Kota Cirebon mencatat penurunan tingkat kemiskinan dari 9,73 persen pada 2016 menjadi 8,88 persen tahun lalu. Namun, jumlah itu masih di atas tingkat kemiskinan rata-rata di Jabar, yakni 7,8 persen.
”Pembangunan akan terus dilakukan di wilayah selatan. Dalam lima tahun ke depan, ditargetkan ada SMA negeri di sana,” lanjut Arif.
Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis dalam beberapa kesempatan menyampaikan, keinginan Pemkot Cirebon menata bekas galian pasir di Argasunya menjadi destinasi wisata baru. Hal ini dinilai dapat mengembangkan wilayah selatan kota.
”Kami fokus menggarap pariwisata. Konsentrasi penggunaan APBD untuk sektor itu,” ujarnya.