Dominasi Penuh "Serdadu Inggris"
Setelah satu dekade, klub-klub Inggris kembali merasakan dominasi penuh di perempat final Liga Champions. Empat klub wakil Liga Primer berhasil lolos ke delapan besar. Dominasi para serdadu dari Inggris itu tidak lepas dari sedang goyahnya kekuatan raksasa sepak bola Eropa.
Kemenangan 3-1 Liverpool atas Bayern Munchen, pada leg kedua babak 16 besar, Kamis (14/3/2019) dini hari WIB, di Stadion Allianz Arena, melengkapi kesempurnaan tim asal Inggris. “The Reds” menyusul Manchester City, Manchester United, dan Tottenham Hotspurs yang terlebih dulu lolos ke perempat final.
Hasil itu amat menggembirakan bagi publik Inggris. Terakhir kali Inggris meloloskan empat wakil ke perempat final adalah pada 2008/2009. Saat itu, mereka mendominasi lewat Arsenal, Chelsea, Manchester United, dan Liverpool.
Dalam delapan musim terakhir, klub-klub Inggris miskin prestasi di Liga Champions. Pada 2012/2013 dan 2014/2015, mereka tidak memiliki satu wakil pun di perempat final. Terakhir kali tim Inggris yang juara adalah Chelsea pada 2011/2012.
Pada saat bersamaan, Klub-klub Liga Spanyol, Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid menguasai Eropa. Dominasi itu diselingi Juventus, Bayern Munchen, Paris Saint Germain, dan Borussia Dortmund.
Anomali terjadi musim ini. Dari tujuh raksasa itu, hanya Barcelona dan Juventus yang berhasil lolos ke delapan besar. Sisanya gagal melaju, beberapa di antaranya terhenti oleh tim-tim unggulan.
Kejutan terjadi saat Ajax Amsterdam dengan materi pemain muda mengalahkan tiga kali juara bertahan Liga Champions, Real Madrid. Spurs mampu menaklukkan "Tembok Kuning" Dortmund. Sementara itu, Manchester United yang hanya masuk sekali fase gugur dalam empat musim terakhir, mampu mengalahkan PSG.
Raksasa retak
Kembalinya kekuatan Inggris tidak hanya berasal dari kehebatan diri sendiri, tetapi juga karena sedang menurunnya kekuatan raksasa Eropa, terutama di Jerman dan Spanyol. Klub-klub tersebut sedang berada pada masa peralihan setelah melewati puncak prestasi.
Kembalinya kekuatan Inggris tidak hanya berasal dari kehebatan diri sendiri, tetapi juga karena sedang menurunnya kekuatan raksasa Eropa, terutama di Jerman dan Spanyol.
Contohnya Real Madrid. Salah satu klub terkaya di dunia ini begitu rapuh saat menghadapi tim muda Ajax. Mereka belum menemukan jati dirinya setelah ditinggal pelatihnya, Zinedine Zidane, pada akhir musim lalu. Sergio Ramos dan rekan-rekan terkendala adaptasi karena Madrid mengganti dua pelatih, Santiago Solari dan Julen Lopetegui, hanya dalam tujuh bulan.
Pergantian pelatih itu sedikit banyak memengaruhi gaya bermain Madrid. Penyesuaian taktik antara pelatih dan para pemain belum berjalan optimal. Permasalahan pelatih ini pula yang dihadapi beberapa raksasa lain.
Munchen baru memakai jasa pelatih Niko Kovac sejak Juli tahun lalu. Begitu juga Dortmund dengan pelatih baru Lucien Favre dan PSG dengan Thomas Tuchel yang sebelumnya melatih Dortmund.
Baca juga: Panggung Para Pemberani
Kondisi itu sungguh berbeda dengan klub Inggris. Mereka telah memakai jasa pelatih lebih dari tiga musim, kecuali MU. Manchester City bersama Josep Guardiola, Liverpool bersama Jurgen Klopp, Spurs bersama Mauricio Pochettino. Ketiga tim ini mulus lolos ke final. City unggul agregat 10-2 atas Schalke 04, Spurs lolos dengan agregat 4-0, sementara Liverpool dengan 3-1.
MU satu-satunya yang lolos dengan pelatih baru, Ole Gunnar Solskjaer. Mereka memang sedang dalam tren positif di liga domestik. Meski begitu, mereka susah payah lolos dengan keunggulan gol tandang. Paul Pogba dan rekan-rekan harus memastikan kelolosan pada detik akhir saat mendapatkan hadian penalti.
Di sisi lain, permasalahan investasi pemain juga menjadi faktor utama redupnya dominasi klub raksasa dalam satu dekade terakhir. Rata-rata dari tim tersebut tidak mengganti skuad intinya sejak lima tahun lalu.
Lihat saja skuad Madrid nyaris sama seperti pada 2014. Mereka masih bertumpu pada Gareth Bale, Karim Benzema, Sergio Ramos, dan Luca Modric. Pembelian berharga mereka dalam tiga musim terakhir hanya Vinicius Junior. Namun, penyerang Brasil berusia 18 tahun itu masih terlalu muda.
Pelatih yang membawa Madrid juara Liga Champions 2016-2018, Zinedine Zidane, mengatakan skuad "Los Blancos" saat ini memang harus diubah. "Mereka sudah memenangkan trofi selama lima tahun terakhir. Perlu ada perubahan besar dalam tim karena sudah tidak ada motivasi lebih dalam diri mereka," katanya.
Munchen masih mengandalkan striker utamanya Robert Lewandowski. Pria berusia 30 tahun itu yang pindah sejak 2014 itu menjadi pencetak terbanyak mereka dengan delapan gol. Selain itu, nama-nama lama seperti Javi Martinez (30) dan Frank Ribery (35) yang sudah melampaui puncak penampilannya masih menjadi pemain inti di leg kedua melawan Liverpool.
Kondisi itu jauh dari yang dialami klub Inggris. City dan Liverpool sedang dalam puncak menikmati investasi pembelian pemain dalam tiga tahun terakhir. Di Liverpool, nyaris hanya 2 dari 11 pemain, yaitu Jordan Henderson dan James Milner yang ikut tampil pada 2014/2015. Sisanya, mereka mengandalkan pemain baru seperti Virgil Van Dijk, Mohamed Salah, Sadio Mane, dan Roberto Firmino.
Sama halnya dengan Manchester City. Hanya Sergio Aguero dan David Silva, pemain senior dalam tim tersebut. Sisanya merupakan pemain baru pembelian di era Guardiola.
Spurs meski paling hemat di Inggris, mereka sedang menikmati investasi pemain seperti Christian Eriksen dan Heung Min-Son. Sementara itu, investasi itu ditambah pemain binaan usia muda, Harry Kane dan Dele Alli.
Penantian sewindu
Dengan kondisi ini, klub Inggris berpeluang besar memenangi trofi Liga Champions musim ini. Liverpool dan City menjadi unggulan utama dari empat tim tersebut.
Liverpool adalah finalis musim lalu. Mereka kalah dari Real Madrid di final, 1-3. Ketika Madrid tidak ada, otomatis tim asuhan Klopp langsung masuk sebagai daftar utama kandidat juara.
"Ini adalah langkah besar bagi kami. Kami kembali berada di sini setelah melewati tim hebat. Hal ini tanda yang sangat fantastis. Kita lihat apa yang akan terjadi musim ini," kata Klopp.
City juga menjadi favorit juara. Mereka menunjukkan dominasi dengan menumbangkan Schalke 04 dengan agregat 10-2. Salah satu agregat terbesar sepanjang sejarah fase grup Liga Champions. Di bawah pelatihan Guardiola, City menjadi salah satu tim paling berbahaya di Eropa. Kini mereka baru sekali kalah dari 19 pertandingan sejak awal tahun 2019.
Meski begitu, Guardiola menolak dibebani status calon juara. ”Saya menang dua kali Liga Champions, tetapi kalah tujuh kali. Jadi, lebih banyak kalah. Saya bukan Real Madrid yang memenangi tiga gelar beruntun. Kami akan mencoba mendapatkannya," ucapnya.
Lawan terberat klub Inggris adalah tim berpengalaman seperti Juventus dan Barcelona. Dua klub ini paling berpengalaman dari delapan tim tersisa. Apalagi, mereka dihuni pemain terbaik di dunia, Cristiano Ronaldo bersama Juventus dan Lionel Messi bersama Barcelona.
Namun, kejutan masih bisa terjadi layaknya di babak 16 besar. Banyak tim bermaterikan mayoritas pemain muda seperti Ajax, MU, Spurs, dan FC Porto, yang bersiap menerkam para unggulan.
Mampukan wakil Inggris kembali menjadi juara setelah penantian sewindu? Nasib tim-tim Inggris beserta wakil dari negara lain masih harus menunggu undian babak perempat final yang akan dilaksanakan pada Jumat (15/3/2019) pukul 17.00 WIB. (AFP/REUTERS)