JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan utang luar negeri yang masuk melalui surat utang diprediksi akan berlanjut di sepanjang 2019. Perbaikan persepsi risiko investasi dalam negeri yang ditunjang terjaganya fundamen ekonomi Indonesia memperkuat daya tarik investor global.
Persepsi risiko investasi di Indonesia semakin baik, terbukti dari turunnya nilai premi risiko (CDS) Indonesia. CDS yang semakin rendah menunjukkan ekspektasi risiko investasi yang semakin rendah pada instrumen surat utang negara Indonesia dalam denominasi rupiah.
Berdasarkan data Bloomberg, pada Selasa (19/3/2019), CDS Indonesia tenor 5 tahun berada di level 95,38 atau menguat 44,2 persen dari posisi akhir 31 Desember 2018 di level 137,54.
Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri Permana mengatakan, CDS Indonesia sudah masuk tren penurunan sejak Amerika Serikat (AS) dan China secara intens melakukan negosiasi dagang. Di sisi lain, fundamental ekonomi Indonesia terjaga baik.
Seiring dengan penurunan CDS tenor 5 tahun di bawah level 100, imbal hasil surat utang negara tenor 10 tahun stabil di kisaran 7,5 persen-7,6 persen. Hal itu membuat investor global berbondong berinvestasi di pasar obligasi.
”Perbaikan persepsi investasi membuat investor dapat lebih leluasa mengumpulkan obligasi dari berbagi seri, termasuk yang bertenor panjang dan menawarkan imbal hasil tinggi,” kata Fikri.
Imbal hasil tersebut menarik bagi investor yang ingin mengincar keuntungan dari besaran imbal hasil maupun investor yang mengincar kenaikan harga di pasar sekunder. Pefindo memprediksi, kondisi itu akan mendorong investor tetap membeli obligasi secara bertahap sepanjang tahun ini.
Imbal hasil tersebut menarik bagi investor yang ingin mengincar keuntungan dari besaran imbal hasil maupun investor yang mengincar kenaikan harga di pasar sekunder.
Menurut Fikri, jika di tahun ini terjadi pembalikan arah atau penurunan imbal hasil surat utang negara, investor dapat memperpendek durasi obligasi. Obligasi bertenor pendek relatif memiliki risiko volatilitas harga yang lebih minimum.
”Investor juga bisa mengambil opsi diversifikasi ke pasar uang hingga imbal hasil obligasi kembali ke level wajar,” ujarnya.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, hingga akhir Februari 2019 realisasi pembiayaan untuk Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 197,10 triliun atau 50,67 persen dari target yang ditetapkan pada APBN 2019 yang besarnya Rp 388,96 triliun.
Utang swasta
Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri swasta Indonesia per Januari 2019 tumbuh 10,8 persen dibanding tahun sebelumnya, mencapai 193,1 miliar dollar AS. Meski meningkat, risiko utang kian membaik karena didominasi utang jangka panjang dengan periode jatuh tempo di atas 1 tahun senilai total 145,45 miliar dollar AS.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menilai pertumbuhan utang luar negeri swasta sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan proyek prioritas pemerintah. Pertumbuhan juga sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik.
Di luar itu, pertumbuhan utang luar negeri juga berkaitan dengan semakin ketatnya likuiditas di dalam negeri. Perbankan domestik bersikap konservatif dalam penyaluran kredit di tengah sulitnya menghimpun dana pihak ketiga (DPK) sejak akhir tahun lalu.
”Posisi utang luar negeri masih cukup aman, namun otoritas moneter tetap perlu mendorong sektor swasta melakukan hedging (lindung nilai) terhadap valuta asing,” ujarnya.