Indonesia Tegas Melawan Diskriminasi CPO
JAKARTA, KOMPAS – Hambatan ekspor komoditas utama Indonesia, minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya, masih datang dari pasar utama, yaitu India dan Uni Eropa. Indonesia akan bertindak tegas melawan kenaikan tarif dan diskriminasi CPO dan produk turunannya itu.
Langkah-langkah tegas itu berupa dialog bilateral untuk menurunkan tarif bea masuk, melawan kampanye hitam sawit, dan kerja sama promosi. Selain itu, Indonesia akan membawa persoalan diskriminasi CPO dan produk turunannya yang dilakukan Uni Eropa (UE) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam Pameran dan Pertemuan ke-4 India-ASEAN di New Delhi, India, pada 21 Februari 2019, India berkomitmen menurunkan bea masuk produk turunan CPO asal Indonesia, dari 50 persen menjadi 45 persen. Namun, bea masuik itu tetap lebih tinggi dibandingkan pada 2018 yang sebesar 40 persen. (Kompas, 22 Februari 2019)
Menurut catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor CPO dan produk turunan CPO Indonesia ke India mencapai 6,71 juta ton tahun lalu. Angka itu turun sekitar 12 persen dibandingkan dengan 2017 yang mencapai 7,63 juta ton.
Meski demikian, di tengah konflik bea masuk, India, negara tujuan utama ekspor sawit Indonesia, semakin berkomitmen menunjukkan keseriusan menghadapi persoalan CPO. Salah satunya, yaitu melalui sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan.
“Kami akan bekerja sama dengan India untuk memperkuat promosi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) di India. Kerja sama ini sebenarnya sudah berlangsung sejak Desember 2018, namun India baru akan datang minggu depan untuk meninjau perkebunan sawit di Medan, Sumatera Utara,” kata Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun, saat dihubungi Kompas, Rabu (20/3/2019).
Dalam pertemuan nanti, India akan diwakili Solvent Extractors Association (SEA) of India. Asosiasi ini akan didampingi oleh Solidaridad, yaitu suatu lembaga nonpemerintah yang memiliki kerja sama dengan petani-petani di Kalimantan dan di Sumatera.
Tujuan dari pertemuan ini, yaitu untuk memperkuat posisi ISPO agar lebih luas diterima di India dan tidak dipersulit pihak lain. Sebab, menurut Derom, terkadang India pun mendapat tekanan dari negara-negara UE agar membeli CPO dengan berbagai persyaratan yang mendiskriminasikan CPO Indonesia.
Terkadang India pun mendapat tekanan dari negara-negara UE agar membeli CPO dengan berbagai persyaratan yang mendiskriminasikan CPO Indonesia.
Dalam hal ini, India pun mau menekankan pentingnya sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan. Hal ini sebagai upaya mendukung keberlangsungan CPO agar bisa diterima pasar secara luas.
“Penguatan ISPO juga kami lakukan dengan promosi dan sosialisasi kepada para petani. Seringkali petani sulit mendapatkan ISPO karena ukuran lahan mereka yang kecil. Kami ingin ISPO diperkuat agar dapat memfasilitasi perkebunan-perkebunan rakyat sehingga tuduhan negatif terhadap CPO Indonesia tidak ada lagi,” kata Derom.
Baca juga: Indonesia Kaji Ulang Persoalan Diskriminasi CPO
Tak hanya dengan India, penguatan ISPO juga merupakan poin penting dalam menjamin keberlangsungan ekspor Indonesia di negara-negara anggota UE. Maka, meski saat ini UE berencana melarang penggunaan produk turunan CPO, khususnya biodiesel, Indonesia harus mampu menunjukkan produknya tidak melanggar aturan yang ditetapkan.
Tingkatkan standar
Ditemui secara terpisah, Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Guerend menyatakan, UE menyambut baik dan mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk memiliki minyak sawit berkelanjutan. Upaya ini pun telah dilakukan melalui moratorium, penanaman kembali, hingga penerapan ISPO.
“Namun, masih kurang dari 15 persen perkebunan sawit Indonesia yang merupakan bagian dari ISPO, jumlah ini tentu masih sangat kecil. Kami membutuhkan standar yang kuat, transparan, dan kredibel baik melalui ISPO atau lainnya. Kami ingin minyak kelapa sawit itu bersertifikat, khususnya dalam hal keberlanjutan,” ujar Vincent.
Masih kurang dari 15 persen perkebunan sawit Indonesia yang merupakan bagian dari ISPO, jumlah ini tentu masih sangat kecil. Kami membutuhkan standar yang kuat, transparan, dan kredibel baik melalui ISPO atau lainnya.
Ekspor CPO untuk bahan bakar nabati ke UE hingga saat ini paling banyak dikirim ke Jerman, Spanyol, Italia, dan Perancis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor ke ketiga negara tersebut turun pada Januari-Februari 2019 dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Hal itu terlihat dari anjloknya ekspor kelompok lemak dan minyak nabati/hewani atau kelompok kode HS 15 yang didominasi CPO. Ekspor kelompok kode HS 15 ke Jerman pada Januari-Februari 2019 turun 67,33 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya. Saat ini, nilainya 7,91 juta dollar AS.
Nilai ekspor kelompok kode HS 15 ke Italia sebesar 79,46 dollar AS pada periode Januari-Februari 2019. Angka ini turun 22,39 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya. Sementara itu, nilai ekspor kelompok kode HS 15 pada Januari-Februari 2019 ke Spanyol juga turun 6,52 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada periode ini, nilai ekspornya sebesar 99,10 juta dollar AS. (Kompas.id, 18 Maret 2019)
Baca juga: Tertatih Membalikkan Keadaan
Persoalan ini terkait dengan dokumen Renewable Energy Directive (RED) II atau Arahan Energi Terbarukan II termasuk delegated acts yang sudah diserahkan ke Parlemen UE oleh Komisi UE. Jika benar diimplementasikan, maka CPO sebagai bahan bakar nabati di negara-negara Uni Eropa akan dilarang. Aturan ini berpotensi menghambat ekspor CPO Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, berulang kali menegaskan dan menyatakan posisi Indonesia untuk segera membawa dokumen RED II ke organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO).
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, dokumen RED II akan terus dipelajari. “Kami melihat ada potensi bahwa Uni Eropa melanggar perjanjian teknis dalam perdagangan dengan memberlakukan pembatasan lebih banyak dari yang seharusnya. Maka, teks ini akan terus kami pelajari bersama tim advokasi dan tim multilateral,” katanya.
Kami melihat ada potensi bahwa Uni Eropa melanggar perjanjian teknis dalam perdagangan dengan memberlakukan pembatasan lebih banyak dari yang seharusnya. Maka, teks ini akan terus kami pelajari bersama tim advokasi dan tim multilateral.
Menanggapi keseriusan Pemerintah Indonesia, Vincent menyampaikan, pada dasarnya perdagangan dan investasi antarnegara itu untuk saling menguntungkan. Namun, jika memang ada ketidaksepakatan dalam perdagangan, maka langkah yang tepat adalah membawanya ke WTO.
“Kami percaya, negara apa pun di dunia, jika ada perselisihan dagang, itu harus diselesaikan dengan cara yang tepat yaitu melalui WTO. Jadi saya pikir, langkah Indonesia yang akan membawa dokumen RED II ke WTO sudah tepat untuk menyelesaikan perselisihan dagang,” ujar Vincent. (SHARON PATRICIA)