JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia akan terus mengkaji perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif dengan Uni Eropa (I-EU CEPA). Pengkajian itu bertujuan menegosiasikan pembahasan minyak nabati secara keseluruhan agar minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) tidak terus didiskriminasikan.
”Minggu lalu, kami melakukan perundingan putaran ke-7 CEPA di Brussel, Belgia. Bisa saya sampaikan, dari 16 isu runding yang dibahas, perdagangan dan pembangunan berkelanjutan menjadi isu runding yang sangat sulit dinegosiasikan,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo di Jakarta, Senin (18/3/2019).
Paparan itu disampaikan dalam konferensi pers tentang hasil rapat koordinasi terkait European Union’s Delegated Acts. Selain Iman, hadir sebagai narasumber Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Staf Khusus Kementerian Luar Negeri Peter F Gontha, Wakil Ketua III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Togar Sanggani, dan Sekretaris Jenderal Gapki Kanya Lakshmi Sidarta.
Lebih lanjut, Iman menyampaikan, persoalan yang diangkat dalam perundingan tersebut yaitu mengenai keberlanjutan minyak nabati. Jika berbicara mengenai keberlanjutan, tidak boleh ada diskriminasi, semua minyak nabati harus diperlakukan sama.
”Kami ingin supaya isu runding ini kuat. Saat ini memang masih jauh dari sepakat, tetapi saya tidak menyatakan perundingan ini berhenti atau tidak. Meskipun Uni Eropa cenderung untuk back off (mundur), kita lebih offensive (maju). Maka, kami akan tetap melalukan perundingan lebih lanjut,” ujar Iman.
Tak hanya I-EU CEPA, Iman mengatakan, dokumen Renewable Energy Directive (RED) II atau Arahan Energi Terbarukan II termasuk delegated acts juga akan terus dipelajari. Isi dari dokumen RED II yaitu tidak merekomendasikan CPO sebagai bahan bakar nabati di negara-negara Uni Eropa.
”Kami melihat ada potensi bahwa Uni Eropa melanggar perjanjian teknis dalam perdagangan dengan memberlakukan pembatasan lebih banyak dari yang seharusnya. Maka, teks ini akan terus kami pelajari bersama tim advokasi dan tim multilateral,” kata Iman.
Kami melihat, ada potensi bahwa Uni Eropa melanggar perjanjian teknis dalam perdagangan dengan memberlakukan pembatasan lebih banyak dari yang seharusnya.
Anggota Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) menilai, dokumen RED II tersebut berpotensi menggolongkan CPO dalam kelompok tanaman pangan berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan secara tidak langsung atau indirect land use change (ILUC) yang berakibat pada pembatasan penggunaan (Kompas.id, 26 Februari 2019).
Sejalan dengan itu, Darmin menyatakan, sejauh ini tidak ada kajian komprehensif mengenai bagaimana membandingkan CPO dengan minyak nabati lain, misalnya yang berasal dari biji bunga matahari ataupun kacang kedelai.
”Lucunya, meski belum ada kajian secara komprehensif, minyak kedelai dari Amerika Serikat dikatakan berisiko rendah. Ini, kan, namanya tindakan diskriminatif,” ujar Darmin.
Selain itu, Darmin menegaskan, begitu delegated acts diundangkan, Pemerintah Indonesia akan langsung membawa ke organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). Langkah ini untuk menguji apakah yang dilakukan Uni Eropa itu adil atau hanya untuk proteksionisme dengan berbagai macam tuduhan atau tudingan.
Dalam hal ini, Indonesia juga bekerja sama dengan negara penghasil CPO, yaitu Malaysia dan Kolumbia yang tergabung dalam CPOPC. Ketiga negara itu menguasai 90 persen produksi kelapa sawit di tingkat global.
Di sisi pasar negara-negara anggota Uni Eropa, Togar mengatakan, CPO untuk bahan bakar nabati hingga saat ini paling banyak dikirim ke Spanyol, Italia, dan Perancis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor ke ketiga negara tersebut turun pada Januari-Februari 2019 dibandingkan pada tahun sebelumnya. Hal ini tampak dari anjloknya ekspor kelompok lemak dan minyak nabati/hewani atau kelompok kode HS 15 yang didominasi CPO.
Ekspor kelompok kode HS 15 ke Jerman pada Januari-Februari 2019 turun 67,33 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya. Saat ini, nilainya 7,91 juta dollar AS.
Nilai ekspor kelompok kode HS 15 ke Italia sebesar 79,46 dollar AS pada periode Januari-Februari 2019. Angka ini turun 22,39 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Sementara itu, nilai ekspor kelompok kode HS 15 pada Januari-Februari 2019 ke Spanyol juga turun 6,52 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada periode ini, nilai ekspornya sebesar 99,10 juta dollar AS.
Kanya juga menegaskan, bukan hanya Indonesia yang membutuhkan pasar di Eropa, melainkan sebenarnya negara-negara Uni Eropa pun membutuhkan CPO. Maka, semua ini tinggal melihat akan seperti apa gejolaknya ke depan.
”Jika memang delegated acts diimplementasikan, masih ada cara lain untuk tetap mengekspor CPO. Salah satu pendekatan yang mungkin dilakukan adalah hubungan pemerintah ke pemerintah,” ujar Kanya. (SHARON PATRICIA)