Pemerintah Uji Coba Kartu Kredit untuk Antisipasi Kebocoran Anggaran
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan melakukan uji coba penggunaan kartu kredit untuk belanja kementerian dan lembaga. Kartu ini bisa dipakai untuk transaksi dan terdata secara terintegrasi. Dengan cara ini, diharapkan kebocoran anggaran dapat lebih diantisipasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, beberapa satuan kerja di kementerian dan lembaga sedang uji coba penggunaan kartu kredit untuk belanja yang dibiayai dari alokasi uang persediaan. Kartu kredit yang digunakan adalah jenis kartu kredit korporat, yang kini disebut kartu kredit pemerintah.
“Dahulu, uang persediaan sampai Rp 50 juta diberikan dalam bentuk tunai. Kami tak tahu uang itu untuk apa karena transaksi dicatat secara manual,” kata Sri Mulyani dalam pembukaan rapat koordinasi nasional pengawasan internal pemerintah tahun 2019 di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Dengan menggunakan kartu kredit, kata Sri Mulyani, laporan penggunaan uang persediaan tidak lagi manual. Seluruh detail transaksi akan terekam secara digital sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Limit kartu kredit disesuaikan dengan uang persediaan milik kementerian dan lembaga terkait.
Kartu kredit digunakan untuk belanja yang dibiayai dari alokasi uang persediaan, seperti keperluan operasional, pemiliharaan, dan perjalanan dinas. Tagihan kartu kredit akan dibayar oleh bendara pengeluaran dengan menggunakan uang persediaan yang dimilikinya.
“Kami sudah uji coba dan akan diluncurkan secara lebih luas dalam waktu dekat. Harapannya, penggunaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) lebih tepat sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Sri Mulyani.
Kemenkeu masih mengevaluasi secara bertahap uji coba penggunaan kartu kredit ini. Uji coba kini dilakukan internal Kemenkeu, Kementerian Sekretariat Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kebijakan penggunaan kartu kredit juga sudah diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Nomor 17 Tahun 2017.
Penyelewengan anggaran
Dalam APBN 2019, total belanja negara mencapai Rp 2.461,1 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.634,3 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 826,6 triliun. Belanja itu akan dibiayai dari pendapatan negara yang ditargetkan Rp 2.165,1 triliun dan penarikan utang Rp 296 triliun.
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Ardhan Adiperdana menyatakan, penyimpangan anggaran masih terjadi di tingkat pusat maupun daerah. Hal itu disebabkan lemahnya sistem pengawasan internal dan kualitas pengawas yang tidak berintegritas. Situasi ini mesti jadi perhatian bersama agar upaya antisipasi lebih masif.
“Penguatan lingkungan pengawas internal sangat penting melalui koordinasi berbagai pihak,” kata Ardhan.
Dihubungi terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah berpendapat, persoalan anggaran bukan hanya pengawasan, tetapi kualitas penggunaan. Realisasi anggaran masih sebatas laporan administratif belum menyentuh dampak nyata.
Menurut Rusli, penyerapan anggaran seharusnya bukan fokus utama. Pemerintah lebih baik berorietasi pada hasil dan dampak penggunaan anggaran. Sejauh ini belum ada sistem yang bisa mengukur uang yang dibelanjakan dengan dampak yang dihasilkan.
“Seharusnya ada skema laporan pertanggungjawaban untuk menunjukkan hasil dari setiap rupiah yang dibelanjakan,” kata Rusli.
Skema dampak dan hasil penggunaan anggaran penting karena hampir sepertiga belanja APBN 2019 akan dialokasikan untuk transfer ke daerah dan dana desa, senilai Rp 827 triliun. Anggaran transfer ke daerah dan dana desa pada 2019 lebih tinggi dari proyeksi 2018 yang senilai Rp 764 triliun.