JAKARTA, KOMPAS — Kualitas tata kelola air di suatu wilayah adalah cerminan tingkat peradaban masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pada peringatan Hari Air Sedunia, Jumat (22/3/2019), warga Jakarta diajak bijaksana merawat sumber air bersih agar kehidupan tetap lestari.
Direktur Utama Perusahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah Jakarta Raya (PD PAL Jaya) Subekti, di Jakarta, Minggu (24/3/2019), mengatakan, pembangunan tata kelola air yang ideal membutuhkan waktu lama. Salah satu contohnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kini tengah berupaya membangun Sistem Pengelolaan Limbah Terpusat atau Jakarta Sewerage System (JSS) yang ditargetkan rampung pada 2050.
Subekti mengatakan, permasalahan tata kelola air, termasuk sanitasi dan air limbah, adalah persoalan peradaban. Upaya membangun tata kelola air harus dibarengi usaha membangun budaya menghargai nilai dari setetes air bersih.
Pembangunan JSS merupakan program untuk mengatasi limbah di Jakarta. Tujuannya adalah mengelola air limbah menjadi air baku agar dapat kembali digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 41 Tahun 2016 tentang Rencana Induk Pengembangan Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah Domestik, terdapat 15 zona, meliputi 14 zona baru dan 1 existing, yaitu zona nol dengan IPAL di Waduk Setiabudi, Jakarta Selatan, (Kompas, Senin 4/2). Proyek senilai Rp 68 triliun itu dirancang pada 2012 dan ditargetkan rampung pada 2050.
”Tahun depan kami akan mulai bergerak mengerjakan lima zona lainnya. Dokumen rancangan teknik terinci (DED) ditargetkan rampung pada Mei,” kata Subekti.
Menurut Subekti, tantangan utama dalam pembangunan JSS adalah belum adanya rencana induk utilitas bawah tanah. Yang saat ini terjadi, pembangunan infrastruktur bawah tanah menjadi tumpang tindih. Tambal sulam dan bongkar pasang utilitas bawah tanah sering terjadi.
”Persoalannya, pembangunan sistem sanitasi dan pengelolaan air limbah justru dibangun belakangan di Jakarta. Akibatnya, ada banyak infrastruktur dan permukiman yang harus dibongkar,” kata Subekti saat ditemui di sela-sela ajang lari Run for Water 2019 yang diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran warga menjaga sumber air bersih.
Hal itu tampak ketika permukiman warga di calon lokasi JSS untuk dua zona, yaitu zona 2 di Muara Angke dan zona 5 di Papanggo, Jakarta Utara, perlu dipindahkan agar pembangunan dapat rampung sesuai rencana. Ini berarti akan ada pengeluaran dana lagi untuk merelokasi warga yang mengokupasi lahan tersebut.
Menghemat
Pembangunan infrastruktur yang memadai saja belum cukup untuk menjamin kebutuhan air bersih warga akan tercukupi. Kesadaran warga untuk turut merawat sumber air bersih dan menghemat penggunaannya juga harus ditingkatkan.
Direktur Utama Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya Priyatno Bambang Hernowo mengatakan, kesadaran warga Jakarta untuk memanfaatkan air perpipaan masih rendah. Masih banyak warga yang lebih memilih air tanah semata hanya karena bisa didapat dengan gratis.
”Di sejumlah lokasi masih ada warga yang tetap menggunakan air tanah meskipun wilayahnya telah terjangkau jalur perpipaan. Padahal, mengonsumsi air tanah itu berisiko mengingat kualitasnya tidak dipantau secara berkala,” ujar Priyatno.
Selain itu, menurut dia, jumlah rata-rata konsumsi air bersih per orang di Jakarta berada di angka 180 liter per hari. Idealnya, penggunaan air bersih per orang adalah 80 liter hingga 150 liter per hari. (PANDU WIYOGA)