Transaksi dari masifnya aktivitas tambang minyak liar di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi, diperkirakan lebih dari Rp 7 miliar per hari. Melesatnya roda ekonomi setempat memicu eksodus warga untuk merambah. Penanggulangan cepat dan terpadu dari pemerintah diperlukan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·2 menit baca
BATANGHARI, KOMPAS — Transaksi dari masifnya aktivitas tambang minyak liar di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi, diperkirakan lebih dari Rp 7 miliar per hari. Melesatnya roda ekonomi setempat memicu eksodus warga untuk merambah. Penanggulangan cepat dan terpadu dari pemerintah diperlukan.
Besarnya nilai transaksi dari aktivitas pengeboran, penjualan hasil tambang, hingga besarnya pungutan liar di sepanjang jalur angkut hasil tambang tersebut. Dalam sehari diperkirakan 1.400 truk dan pikap mengangkut hasil tambang liar dari Desa Pompa Air dan Bungku. Lebih dari 8.000 pekerja terlibat sebagai pengebor, petambang, ataupun pengumpul minyak limbah sisa tambang dengan penghasilan beragam mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 3 juta per hari.
Sementara itu, besaran pungutan liar yang mengucur dari kendaraan angkut lebih dari Rp 100 juta per hari. ”Besarnya uang yang mengalir inilah yang memicu aktivitas tambang liar di sana,” kata Parlaungan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari, Selasa (26/3/2019).
Besarnya uang yang mengalir inilah yang memicu aktivitas tambang liar di sana.
Bupati Batanghari Syahirsah pun mengaku kewalahan menanggulangi praktik liar di sana. Tim terpadu telah dibentuk dan sejumlah operasi dilakukan, tetapi tidak mampu menghentikannya. Karena itu, ia pun mengirim surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian ESDM untuk turun tangan.
”Kami sudah mengirimkan suratnya beberapa waktu lalu. Kami berharap pemerintah pusat akan turun tangan mengatasi,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, lebih dari 1.500 titik pengeboran liar minyak marak beroperasi di Kecamatan Bajubang, seperti diberitakan Kompas, Senin (25/3/2019). Lebih dari 500 titik di antaranya telah merambah masuk dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin.
Maraknya tambang liar menyebar di Desa Pompa Air dan Desa Bungku, Kecamatan Bajubang. Aktivitas itu bahkan mengokupasi areal wilayah kerja pertambangan PT Pertamina (Persero) dalam kawasan tahura, yang produksinya dikerjakan oleh PT Prakarsa Betung Meruo Senami.
Kepala Desa Pompa Air Indra mengatakan, pihaknya berupaya mengendalikan masyarakat. Namun, hal itu sulit karena warga tergiur oleh besarnya potensi sumber daya itu. Desa bahkan telah mengajukan izin wilayah pertambangan rakyat (WPR) kepada Bupati Batanghari. Namun, usulan itu belum dipenuhi hingga kini.
Indra mengakui ada pungutan yang dikenai pada truk-truk pengangkut minyak yang melintasi desanya. Dana itu dimanfaatkan untuk pembangunan jalan dan sarana publik di desa.
Salah seorang pekerja, Roni, mengatakan, aktivitas tambang memang menggiurkan, tetapi sebenarnya tak selalu membawa hasil menguntungkan. Beberapa kali ia dapati pengeboran tak membuahkan hasil minyak sehingga harus berpindah lokasi mencari titik bor baru.