Tim penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur memburu dua tersangka kasus penyelundupan anakan komodo (Varanus komodoensis). Keduanya diduga berperan sebagai pemburu fauna endemik Nusa Tenggara Timur itu, sekaligus pemasok sindikat jual beli ilegal satwa dilindungi.
Oleh
Ambrosius Harto Manumoyoso
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Tim penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur memburu dua tersangka kasus penyelundupan anakan komodo (Varanus komodoensis). Keduanya diduga berperan sebagai pemburu fauna endemik Nusa Tenggara Timur itu sekaligus pemasok sindikat jual beli ilegal satwa dilindungi.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim Komisaris Besar Akhmad Yusep Gunawan, Kamis (28/3/2019), di Surabaya, mengungkapkan, kedua tersangka itu berinisial ED dan EB dari Pulau Flores (NTT). Dalam kasus penyelundupan satwa dilindungi, tim penyidik Polda Jatim telah menahan delapan tersangka, menyita 35 satwa dilindungi, dan menetapkan dua buron, yakni ED dan EB.
”Yang buron menjadi dua,” ujar Yusep.
Dalam jumpa pers pada Rabu (27/3/2019), tim penyidik hanya mengumumkan ED sebagai buron. Inisial EB didapat dari pengembangan pemeriksaan terhadap tersangka berinisial VS, tinggal di Surabaya tetapi kelahiran Ngada, NTT. Pengakuan VS, anakan komodo didapat dari ED dan EB yang disebutnya sebagai pemburu atau penangkap satwa dilindungi itu dari habitat alam.
Belum jelas apakah ED dan EB mendapatkan anakan komodo dari kawasan Taman Nasional Komodo atau Pulau Flores bagian utara. Morfologi komodo dari dua kawasan itu berbeda. Komodo dari TN Komodo lebih besar daripada yang berasal dari daratan Flores. Dugaan sementara, anakan komodo yang diselundupkan dan digagalkan oleh Polda Jatim berasal dari daratan Flores bagian utara.
Yusep mengatakan, pada salah satu anakan komodo yang disita ditemukan pecahan logam yang diduga bagian dari proyektil peluru. Jika dugaan ini benar, boleh jadi ED dan EB mendapatkan anakan komodo dengan ”membunuh” induk terlebih dahulu. VS membeli ”biawak purba” ini dengan harga Rp 10 juta per ekor dari ED dan EB. Anakan komodo itu dikirim ke Surabaya oleh ED dan EB melalui jalur darat dan laut dengan jumlah 4-5 ekor per pengiriman dengan mobil travel, bus, ataupun truk.
Selanjutnya VS menjual anakan komodo ke pembeli dengan harga sudah naik dua kali lipat atau Rp 20 juta per ekor. Di Surabaya, oleh VS, anakan komodo disalurkan ke tersangka lainnya yang telah ditangkap dan ditahan, yakni MRS, AV, AW, dan RR. Keempat tersangka yang disebut terakhir itu sekaligus yang bertanggung jawab memelihara dan memastikan anakan komodo tetap hidup. Selanjutnya, anakan komodo itu dijual lagi ke pembeli lain, termasuk hingga ke mancanegara.
Seperti sudah diberitakan, jalur pengiriman satwa dilindungi melalui transportasi darat dan laut. Dari Surabaya ke Jakarta lalu Palembang, Pekanbaru, Medan, dan Batam. Dari Batam, satwa dilindungi diselundupkan ke Malaysia yang kemudian diteruskan ke pasar hewan di Thailand dan atau Vietnam bahkan sampai Hong Kong. Panjang dan rumitnya rantai perdagangan satwa dilindungi ini mengakibatkan harga jual anakan komodo menembus Rp 500 juta per ekor.
Kasus lain
Dalam kasus serupa meski berbeda jaringan, Polda Jatim menangkap warga Bondowoso, yakni BPH dan DD, serta warga Jember, MR. ”Ada kemiripan peran para tersangka, yakni jual beli ilegal satwa dilindungi dengan jaringan sampai mancanegara,” kata Yusep.
Calon pembeli didapat dari akun media sosial, terutama Facebook dan Twitter. Polisi masih mendalami apakah sindikat ini memiliki komunikasi khusus dalam aplikasi WhatsApp, Telegram, atau lainnya.
Kedelapan tersangka dituduh telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Mereka terancam hukuman setidaknya lima tahun penjara dan denda minimal Rp 100 juta.
Campaign Officer Protection of Forest and Fauna (ProFauna) Siti Nurhasanah mengapresiasi pengungkapan kasus oleh Polda Jatim. Namun, publik perlu melihat kasus ini dengan kritis bahwa satwa dilindungi rentan diperjualbelikan secara ilegal. Penindakan harus disertai dengan jatuhnya hukuman secara maksimal yang menyebabkan efek jera bagi pelakunya.
”Dalam pengamatan ProFauna, belum pernah ada pelaku perdagangan ilegal satwa dilindungi dijatuhi hukuman secara maksimal,” kata Siti. Praktik pidana ini masih terus terjadi. Pengusaha ekspedisi diimbau untuk mengetahui daftar satwa dilindungi. Jika ada yang mengirim satwa dilindungi seharusnya ditolak lalu melapor ke Polri, penyidik lingkungan hidup dan kehutanan, atau lembaga konservasi agar bisa segera dicegah dan diselidiki.