Kurangi Impor Susu, Manajemen Sapi Perah Lokal Perlu Optimalisasi
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebesar 80 persen kebutuhan susu sapi nasional masih dipenuhi oleh susu sapi impor. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya manajemen pengelolaan sapi perah lokal.
Kementerian Pertanian mencatat, produksi susu sapi perah lokal pada 2018 hanya mampu memenuhi 20 persen kebutuhan susu sapi nasional. Jumlah sapi perah lokal pun hanya sekitar 550.000 ekor.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita, di Jakarta, Jumat (5/4/2019). ”Guna meningkatkan produksi susu sapi dalam negeri, perlu pengelolaan yang tepat, mulai dari pembenihan, pemberian pakan, penyediaan air, hingga menjaga kebersihan kandang,” ujarnya.
Diarmita menyampaikan kondisi ini dalam acara Frisian Flag Indonesia Mengirimkan Pemenang Kompetisi Farmer2Farmer ke Belanda untuk Mempelajari Good Dairy Farming Practice. Narasumber lain yang hadir adalah The Agriculture Counselor untuk Kedutaan Belanda di Indonesia Louis Beijer, Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia Dedi Setiadi, dan Cooperate Affairs Director Frisian Flag Indonesia Andrew F Saputro.
Lebih lanjut, Diarmita mengatakan, saat ini pemerintah tengah berfokus pada pembenihan bibit unggul sapi. Metode ini dilakukan salah satunya dengan cara membeli sperma sapi jantan dari Selandia Baru untuk disuntikkan kepada sapi betina di Indonesia.
Fokus lainnya adalah soal pakan. Menurut Diarmita, pakan adalah komponen penting untuk menciptakan sapi yang sehat. Apabila sapi sehat, produksi dan kualitas susu akan meningkat. Jika demikian, harga pun akan meningkat sehingga kesejahteraan petani ikut meningkat.
Saat ini rata-rata produksi susu sapi perah peternak lokal hanya 12 liter per ekor per hari. Padahal, rata-rata produksi susu sapi perah dapat menghasilkan 20 liter per ekor per hari (Kompas.id, 15 Agustus 2018).
Louis Beijer mengatakan, perlu ada jaminan atas ketersediaan, bahkan kualitas pakan bagi sapi-sapi lokal. ”Perlu ada pengaturan mengenai musim tanam agar pakan selalu tersedia untuk kebutuhan makan sapi,” katanya.
Teknologi
Di sisi lain, Louis juga menyoroti soal kecenderungan para generasi muda yang kurang tertarik untuk menjadi peternak. Ia melihat, anak-anak muda saat ini menganggap peternak bukanlah pekerjaan yang bergengsi.
”Saat ini usia peternak berada di kisaran 30 tahun bahkan 40 tahun ke atas. Saya harap dengan adanya perkembangan teknologi industri 4.0, dapat menjadi peluang bagi para anak muda untuk mengefisiensikan proses produksi susu sapi,” tutur Louis.
Generasi muda cenderung kurang tertarik untuk menjadi peternak. Anak muda saat ini menganggap peternak bukanlah pekerjaan yang bergengsi.
Dalam kesempatan yang sama, Dedi Setiadi juga menyampaikan pentingnya perkembangan teknologi dalam dunia peternakan. Misalnya dalam hal pemerahan susu sapi. Dengan pemanfaatan teknologi, pemerahan susu dapat dilakukan lebih maksimal dalam skala besar, kualitas pun akan lebih baik karena kebersihan yang terjaga.
Melalui program Frisian Flag Indonesia Farmer2Farmer, Dedi menilai program ini baik bagi para peternak untuk dapat belajar dari para peternak sapi di Belanda. Namun, yang lebih penting adalah setelah kembali ke Indonesia, mereka dapat membagikan ilmu dan menerapkan hasil pembelajaran.
Terkait program ini, Andrew F Saputro mengatakan, empat peternak yang terpilih untuk berangkat ke Belanda akan tinggal selama dua minggu bersama para peternak Belanda. Mereka (para peternak) akan mengikuti seluruh aspek kehidupan dari peternak Belanda, mulai dari pagi hingga malam, termasuk mempelajari teknologi yang digunakan.
Program yang telah diimplementasikan selama tujuh tahun ini melibatkan sekitar 1.000 peternak sapi perah lokal. Para peternak berasal dari koperasi peternak sapi perah di Jawa Barat dan Jawa Timur.