Baru 11 Persen Unit Usaha Kreatif Pegang Hak Intelektual
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Baru sekitar 11 persen dari total 8,2 juta unit usaha sektor ekonomi kreatif mengantongi hak kekayaan intelektual. Situasi ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran pelaku usaha mendaftarkan hak kekayaan intelektual karya mereka. Padahal, dengan karya terdaftar hak kekayaan intelektual, produk usaha ekonomi kreatif semakin bernilai tambah.
"Pelaku usaha ekonomi kreatif pada umumnya kesulitan mengakses pinjaman kepada jasa keuangan dan perbankan. Alasan utamanya, mereka tidak mempunyai aset fisik untuk dijadikan sebagai jaminan kredit. Aset mereka berupa nonfisik yaitu hak kekayaan intelektual karya, tetapi itupun belum banyak diurus pendaftarannya," ujar Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf, di sela-sela penyerahan sertifikat hak kekayaan intelektual dan akta pendirian badan hukum kepada pelaku usaha di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Dalam kesempatan itu, pemerintah menyerahkan 69 sertifikat hak kekayaan intelektual berupa merek dan satu desain industri. Selain itu, Bekraf menyerahkan akta pendirian badan hukum perseroan terbatas kepada 10 unit usaha.
Triawan menjelaskan, sejak 2016 sampai akhir tahun 2018, Bekraf rutin menggelar sosialisasi, konsultasi, dan fasilitasi pendaftaran hak kekayaan intelektual kepada pelaku usaha ekonomi kreatif di 34 provinsi. Total terdapat sekitar 5.071 pelaku usaha yang berhasil difasilitasi Bekraf mendaftarkan hak kekayaan intelektual ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Fasilitasi juga diikuti bantuan finansial.
Adapun mulai 2017, lanjut Triawan, Bekraf menggelar sosialisasi dan fasilitasi pendaftaran badan hukum unit usaha ekonomi kreatif. Program ini digelar karena kurang dari satu persen dari total unit usaha berstatus badan hukum.
"Dalam pembahasan rancangan undang-undang ekonomi kreatif di DPR, kami turut memasukkan topik pemakaian hak kekayaan intelektual sebagai jaminan memperoleh pinjaman," tutur dia.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly mengatakan, setelah reformasi, pelaku UMKM menjadi penggerak perekonomian nasional. Saat ini, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto mencapai sekitar 9,87 persen.
Dia yakin, persentase kontribusi bisa lebih besar apabila UMKM, khususnya sektor ekonomi kreatif, berani berinovasi. Tentunya, setiap inovasi yang dihasilkan harus didaftarkan hak kekayaan intelektualnya.
"Bagi pelaku usaha sektor ekonomi kreatif yang telah mengantongi sertifikat hak kekayaan intelektual, tantangan mereka adalah komersialisasi sehingga tercipta nilai tambah produk. Tantangan berikutnya yaitu perlindungan hukum jika terjadi pelanggaran," ujar Yasona.
Menurut dia, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memiliki visi menjadikan hak kekayaan intelektual sebagai penggerak perekonomian Indonesia pada 2030. Visi seperti ini telah dimiliki oleh negara maju, antara lain China, Korea Selatan, dan Jepang. Untuk menjalankan visi ini, Kementerian akan berkolaborasi dengan Bekraf. "Negara maju mempertahankan dominasi ekonomi mereka menggunakan hak kekayaan intelektual yang dipunyai," tambah Yasona.
Pada saat bersamaan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang datang mewakili Presiden Joko Widodo, menyebutkan, rasio wirausaha terhadap total penduduk Indonesia baru 3,1 persen. Sementara negara maju sudah memiliki rasio wirausaha mencapai 14 persen. Hal ini perlu menjadi perhatian selain menyadarkan pelaku usaha terhadap pentingnya mendaftar dan mengkomersialisasi hak kekayaan intelektual.
Berdasarkan laporan tahunan Global Innovation Policy Center (GIPC), indeks kekayaan intelektual Indonesia tahun 2018 berada di peringkat ke-45 dari 50 negara yang diriset. Dengan peringkat itu, skor perlindungan hak kekayaan intelektual Indonesia sebesar 12,87.
GIPC adalah lembaga bagian dari Kamar Dagang Amerika Serikat. Dalam laporan riset itu, GIPC menganalisa iklim kekayaan intelektual di 50 negara berkembang dan maju, lalu mengurutkannya berdasarkan 45 indikator, seperti dukungan pemerintah terhadap paten, merek dagang, hak cipta, dan perlindungan rahasia dagang.
Menurut Global Innovation Policy Center (GIPC), indeks kekayaan intelektual Indonesia tahun 2018 ada di peringkat ke-45 dari 50 negara.
Meskipun skor perlindungan hak kekayaan intelektual Indonesia tahun 2018 membaik dibanding sebelumnya, yaitu 12,14, peringkat Indonesia justru merosot. Pada tahun 2017, indeks kekayaan intelektual Indonesia berada di peringkat 43 dari 50 negara.
Direktur Eksekutif Peraturan Internasional GIPC, Ellen Szymanski dalam siaran pers mengatakan, pemerintah Indonesia perlu memiliki solusi keluhan atas beberapa ketentuan sulit dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Misalnya, pembatasan kriteria paten.
Di luar persoalan itu, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa terobosan positif. Sebagai contoh, terkait paten, pada tahun 2018, pemerintah Indonesia merealisasikan kebijakan memberikan bantuan untuk tranfer teknologi dan lokalisasi. Lalu, pemerintah Indonesia bekerja sama Patent Prosecution Highways (PPH) dengan Jepang yang berguna memperkuat proteksi kekayaan intelektual.
Pemerintah Indonesia juga dinilai mempunyai koordinasi yang baik lintas kementerian/lembaga terkait urusan perlindungan hak kekayaan intelektual. Misalnya, penyediaan bantuan administratif untuk pelaporan pelanggaran hak cipta di ranah daring.