BPTJ Pelajari Dua Opsi Kerjasama Transjakarta-Angkutan Kota di Tangsel
Oleh
helena f nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Paska pembahasan antara pengelola angkutan kota D15 dan 106 dengan manajemen bus Transjakarta dan Dinas Perhubungan Jawa Barat bersama Dinas Perhubungan Tangerang Selatan dengan dimediasi Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), ada dua opsi yang tengah dipelajari untuk dipilih sebagai pola kerjasama.
Budi Rahardjo, Kepala Humas BPTJ, Selasa (09/04/2019) menjelaskan, pola kerjasama itu sudah ditekankan BPTJ saat menerbitkan izin prinsip bagi trayek Transjakarta dari Pondok Cabe, Tangerang Selatan ke Tanah Abang, Jakarta Pusat melewati Lebak Bulus, stasiun MRT, di Jakarta Selatan.
"Di dalam surat yang disampaikan BPTJ kepada Transjakarta, kita mensyaratkan agar Transjakarta bekerjasama dengan angkot-angkot setempat karena di rute itu ada angkot," jelas Budi.
Namun saat Transjakarta sedang melakukan ujicoba, angkot D15 dan 106 melakukan protes. Sejak mulai diujicoba pada 22 Maret lalu, jumlah penumpang Transjakarta bertambah. Dari 98 orang di hari pertama, terus bertambah menjadi 1.000 orang per hari.
Dari pembahasan pada Senin kemarin yang menurut penjelasan Budi Rahardjo berjalan alot, akhirnya memunculkan kesepakatan. Prinsipnya, lanjut Budi, adalah angkot bersedia bekerjasama dengan Transjakarta.
Lalu ke depannya ada dua opsi yang disepakati dan tengah dipelajari pihak Jawa Barat dan Tangerang Selatan.
Opsi pertama, angkot menjadi mitra Transjakarta. "Mereka nanti jadi feeder Transjakarta, sama juga JakLingko di Jakarta," kata Budi.
Apabila opsi ini diambil, tentu saja pemilik angkot menjadi mitra Transjakarta dan akan mendapat PSO yang bentuknya rupiah per km. Tapi karena angkot tersebut izinnya dari Jawa Barat maka perlu penyesuaian administrasi.
Penyesuaian administrasi yang dimaksud adalah perlu ada MoU atau skema semacam kerjasama yang di dalamnya ada persyaratan.
"Syarat itu mengatakan kalau itu antarkota antarprovinsi harusnya yang mensubsidi kan pemerintah pusat dalam hal ini BPTJ. Namun karena BPTJ tidak memiliki anggaran untuk subsidi maka BPTJ menyatakan tidak akan memberi subsidi. Lalu ada permintaan dari pemerintah daerah setempat yang terkait dengan izin angkot tersebut kepada Pemprov DKI agar Pemprov DKI mau bekerjasama mendukung subsidi angkot tersebut," jelas Budi.
Untuk opsi kemitraan ini pun dalam Perpres No.55 Tahun 2018 tentang RITJ, sudah ada pasal yang memungkinkan adanya subsidi atau hibah. Adapun Transjakarta dengan pengembangan layanan Jaklingko juga sudah memiliki skema kerjasama dengan angkot.
Lalu opsi kedua adalah pihak angkot meminta Transjakarta membeli angkot mereka. "Opsi kedua ini belum sampai bahas detil. Dua opsi ini masih akan dibahas lagi dalam pertemuan berikutnya mana yang memungkinkan untuk diimplementasi," jelas Budi.
Sambil berjalan menunggu pertemuan selanjutnya yang dijadwalkan pekan depan, pekan ini Dinas Perhubungan Jawa Barat dan Dinas Perhubungan Tangerang Selatan sedang melakukan identifikasi jumlah angkot. Nantinya, identifikasi angkot yang layak operasi tersebut menjadi salah satu data awal untuk memutuskan kerjasama itu. "Kita masih tunggu perkembangan dari Jawa Barat dari Tangerang Selatan," kata Budi.
Sementara pelaksana tugas (plt) Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko sudah menegaskan bahwa DKI Jakarta menghormati apapun keputusan hasil mediasi.
Untuk hibah DKI ke kota-kota di sekitar Jakarta, Sigit menandaskan, setiap tahun DKI selalu memberi hibah. "Concern hari ini hibah adalah dalam bentuk park and ride. Ada enam yang akan dibangun di kabupaten/kota Bekasi dan kabupaten/kota Tangerang sehingga mereka bisa shifting ke angkutan umum," jelas Sigit.
Secara prinsip, lanjut Sigit, DKI mendukung layanan dari operator eksisting. "Artinya kita tidak melihat ini hanyalah kepentingan DKI semata pun sebaliknya juga bukan untuk daerah semata," katanya.