Pengecer skala mikro diperebutkan perusahaan rintisan bidang e-dagang dan peritel besar untuk memperluas pasar. Teknologi digital jadi senjatanya.
JAKARTA, KOMPAS Dengan platform teknologi, perusahaan rintisan perdagangan secara elektronik atau e-dagang serta peritel konvensional skala besar berusaha mempertahankan dan mengembangkan pasar. Mereka bersaing menggaet pedagang eceran dengan menawarkan beraneka fitur, diskon, dan kemudahan.
Indogrosir, unit usaha PT Indomarco Prismatama di bidang perkulakan, misalnya, mengembangkan laman dan aplikasi pemesanan barang. Sementara PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, pengelola gerai Alfamart, menerapkan konsep daring ke luring (O2O) serta melatih dan membekali pedagang ritel/kelontong dengan pelatihan bisnis dan teknologi finansial.
Perusahaan e-dagang, seperti Bukalapak dan Tokopedia, juga menggarap warung kelontong. Demikian pula perusahaan rintisan bidang teknologi, seperti Warung Pintar, yang menggarap peritel mikro.
Marketing Director PT Indomarco Prismatama, Wiwiek Yusuf di Jakarta, Rabu (10/4/2019) menyatakan, Indogrosir mengembangkan laman dan aplikasi pemesanan barang untuk memperkuat posisi sejak dua tahun lalu. Kini lebih dari 100.000 peritel kecil atau pemilik warung kelontong bergabung.
General Manager PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, Nur Rachman mengatakan, perusahaan berusaha mengikuti perkembangan teknologi. Dengan memanfaatkan jaringan gerai, Alfamart menerapkan perdagangan dengan konsep O2O untuk memudahkan transaksi, termasuk untuk pemesanan dan pengambilan barang.
Presiden Bukalapak Fajrin Rasyid menyebutkan, pihaknya membukukan omzet triliunan rupiah setiap bulan dari hasil mengoperasikan Mitra Bukalapak sehingga mendongkrak pendapatan perusahaan. "Kami menerapkan sistem bagi untung baik dengan produsen maupun pemilik toko dan warung kelontong," ujarnya.
Vice President Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak berpendapat, bisnis peritel berskala mikro tidak akan tergerus dengan perkembangan itu. Dengan hadirnya teknologi digital, mereka semakin produktif, seperti kulakan barang dagangan tidak perlu dilakukan setelah tutup warung.
Ada 5-6 perusahaan ritel konvensional besar terjun ke bisnis yang berkaitan langsung dengan pengusaha kelontong.
Pasar besar
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menilai, pengembangan platform O2O untuk pengusaha toko dan warung kelontong, baik milik perusahaan rintisan teknologi maupun peritel konvensional besar, semata-mata untuk tujuan bisnis. Tujuan akhir merealisasikan platform adalah mengejar untung. Perusahaan e-dagang berpotensi mendapatkan suntikan investasi.
"Ada beberapa metrik yang dipakai untuk mengejar suntikan modal baru, seperti akuisisi konsumen, mitra pedagang, dan inovasi produk," kata Ignatius.
Di sisi lain, positif kehadiran platform O2O akan memotong rantai distribusi barang dari manufaktur sampai ke konsumen. Akan tetapi, situasi itu menimbulkan dampak lain, yakni ada bagian rantai pendistribusi yang tergerus.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey berpendapat, semua pelaku bisnis menginginkan kepastian dua hal, yakni regulasi dan ekspansi pasar. Setiap perusahaan rintisan teknologi dan peritel konvensional yang mengembangkan platform O2O untuk usaha kelontong menawarkan keunggulan fitur. Semuanya bersaing bisnis secara sehat.
"Usaha toko dan warung kelontong dekat dengan konsumen. Ada 5-6 perusahaan ritel konvensional besar terjun ke bisnis yang berkaitan langsung dengan pengusaha kelontong. Mereka saling berlomba menawarkan jasa kulakan barang dagangan, layanan pembayaran aneka tagihan, dan berpotensi pula produk laku pandai institusi perbankan pada masa depan," ujar dia.
Fenomena tersebut membuktikan bahwa bisnis ritel daring tidak bisa berdiri tanpa luring. Demikian pula sebaliknya. Peritel luring memerlukan pemasaran digital agar mereka tetap relevan dengan perkembangan zaman.