Harga Rotan Terus Terpuruk, Koperasi Dinilai Jadi Solusi
Keran ekspor rotan mentah tidak akan dibuka kembali meskipun harga rotan kian terpuruk sejak kebijakan itu diberlakukan. Di Kalimantan Tengah harga rotan masih berkisar antara Rp 900 sampai Rp 1.200 per kilogram dan membuat petani enggan memanen rotan meski melimpah. Koperasi petani rotan dinilai bisa menjadi solusi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Keran ekspor rotan mentah tidak akan dibuka kembali meskipun harga rotan kian terpuruk sejak kebijakan itu diberlakukan. Di Kalimantan Tengah harga rotan masih berkisar antara Rp 900 sampai Rp 1.200 per kilogram dan membuat petani enggan memanen rotan meski melimpah. Koperasi petani rotan dinilai bisa menjadi solusi.
Hal itu disampaikan Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita dalam kunjungan ke Pasar Besar Palangkaraya, Kalteng, pada Sabtu (13/4/2019). Menurut Enggartiasto jika keran ekspor dibuka akan membuat industri rotan hancur.
Di Cirebon, Jawa Barat, salah satu daerah industri rotan, saat ini kekurangan bahan mentah. Padahal, di Kalimantan Tengah potensi rotan melimpah dan petani tidak memiliki banyak pilihan untuk menjual rotannya.
“Saya baru ke Cirebon, pengusaha di sana malah kesulitan mencari bahan. Ini yang akan kita jembatani ke depan, antara petani dengan pengrajin-pengrajin rotan,” ungkap Enggartiasto.
Enggartiasto menambahkan, pihaknya akan berupaya memfasilitasi petani dan pengusaha pengrajin rotan tidak hanya di Cirebon tetapi juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Sejak terjadi gempa di Palu, (pengrajin) mulai lebih kesulitan emncari bahan mentah. Tetapi kalau paksa buka keran ekspor industri yang hancur, sebab China, Malaysia, mereka akan membuat industri itu dari bahan baku yang hanya ada di Indonesia, tinggal kami menjembatani itu,” ungkap Enggartiasto.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 35 Tahun 2011 tentang larangan ekspor rotan dalam bentuk rotan asalan, rotan mentah, dan rotan setengah jadi, serta disusul Permendag Nomor 36 Tahun 2011 tentang pengangkutan rotan antar pulau.
Enggartiasto menjelaskan, dulu pihaknya menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk menjembatani kepentingan petani dan industri rotan namun perannya kurang optimal. Ia menilai koperasi akan cocok untuk membantu petani menerima bahan mentahnya.
“Di daerah Jawa, mereka membentuk komunitas semacam koperasi supaya bisa dipesan di sana, nanti kita hubungkan suplier dan petaninya,” kata Enggartiasto.
Di Kabupaten Katingan, Kalteng, selama tahun 2005-2010 produksi rotan mencapai 11.430 ton rotan per tahun, lalu menurun pada 2013 menjadi 800 ton. Padahal, komoditas rotan diperkirakan berada di lahan seluas 325.000 ha atau hampir lima kali luas DKI Jakarta, dengan produksi mencapai 15.000 ton per tahun.
Aja Bahar (55), salah satu petani rotan di Kecamatan Tasik Payawan, Desa Hampangen, Katingan, mengaku, dirinya enggan memanen rotan karena persoalan harga. Ia pernah menjual rotan basah dengan harga Rp 1.200 per kg. Ia terpaksa menjual karena khawatir rotan mentah akan rusak kalau disimpan selama 10 hari.
“Pembeli sekarang suka pilih-pilih. Kalau yang dikirim ke Cirebon mereka minta yang kecil ukuran empat sampai enam milimeter. Padahal, kami kalau panen tidak bisa pilih-pilih karena akan memakan waktu,” kata Bahar.
Bahar mengaku, kalau pembeli meminta ukuran kecil maka rotan dengan ukuran besar tidak terjual. Dirinya terpaksa menjual ke pengumpul rotan dengan harga rendah.
Yakobus (41), salah satu pengumpul rotan mengatakan, produksi rotan tidak bisa diprediksi kadang banyak terkadang tidak ada sama sekali. Hal itu berubah sejak ada larangan ekspor.
Sekitar tahun 2000-an Yakobus kerap membeli 400 ton dalam waktu setahun. Saat ini mendapatkan 100 ton sudah menjadi hal luar biasa. Ia saat ini menjual ke Surabaya atau ke Cirebon dengan harga Rp 7.500 per kg padahal, sebelumnya ia menjualnya dengan harga Rp 9.000 per kg dan bisa mencapai luar negeri.
Harga menjadi tinggi karena rotan mentah yang ia dapatkan dari petani diolah lagi dengan tingkat kekeringan tertentu sesuai pesanan. Namun, kadang ia merugi karena jika dikeringkan akan mengurangi bobotnya. “Petani jual rotan mentah 100 ton, itu kan basah. Saat kering paling hanya 50 ton, makanya harganya lain lagi kalau sudah kering,” katanya.