Bawaslu Temukan 25 Kasus Politik Uang di Masa Tenang
Oleh
dhanang david
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu mengungkap 25 kasus politik uang selama masa tenang pada 14-16 April 2019. Provinsi Sumatera Utara menjadi daerah yang paling banyak praktik politik uang yang melibatkan tim sukses calon anggota legislatif.
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifudin, mengatakan, barang bukti berupa uang dalam kasus ini paling banyak ditemukan di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Transaksi politik uang ini terjadi di rumah penduduk ataupun pusat perbelanjaan.
”Bawaslu bersama Polres Karo pada 15 April lalu mengamankan barang bukti sebesar Rp 190 juta yang diduga akan diberikan oleh para pemilih. Kemudian, selain uang, barang bukti yang telah dikumpulkan oleh Sentra Gakkumdu berupa sembako dan detergen yang akan dibagi-bagikan selama masa tenang,” katanya di Kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (16/04/2019).
Afifudin mengatakan, kasus politik uang ini tersebar di 13 provinsi dan 25 kabupaten/kota. Ia mengatakan, temuan ini merupakan tahapan awal yang dilakukan oleh Sentra Gakumdu dan kemudian proses penindakan akan disesuaikan dengan aturan yang berlaku.
”Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 523 Ayat 2 UU Nomor 07 Tahun 2017 tentang Pemilu, yaitu setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung dipidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta,” katanya.
Menurut Afifudin, hingga hari pencoblosan esok, Rabu (17/4/2019), tim gabungan akan terus memantau proses dan mengantisipasi politik uang. Dalam Pasal 523 Ayat 3, jika ada yang melakukan politik uang pada hari pemungutan suara, sanksinya adalah ancaman penjara selama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 Juta.
Sementara itu, terkait kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang terjadi di Jakarta Utara, Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, tim sedang mengumpulkan bukti-bukti lain untuk mengungkap kasus tersebut. Sebelumnya, pada Senin (16/4/2019) terjadi penangkapan Charles Lubis yang merupakan staf caleg DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra, M Taufik.
Charles ditangkap polisi yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu ketika membawa 80 amplop, yang masing-masing berisi uang Rp 500.000. Penangkapan terjadi di depan Posko M Taufik Center (MTC), Warakas, Jakarta Utara. Di dalam amplop tersebut tercantum tanda tangan M Taufik sebagai pemberi amplop.
Sementara itu, Taufik membantah jika ia terlibat dalam kasus politik uang. Menurut dia, uang dalam amplop tersebut merupakan biaya saksi di tingkat RW. Biaya untuk saksi ini diperbolehkan karena ini merupakan salah satu ongkos politik yang harus ditanggung para caleg.
Antisipasi kerawanan
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini menjelaskan, seusai masa tenang ini, penyelenggara pemilu perlu mengantisipasi sejumlah tahapan yang rawan terjadi manipulasi. Kerawanan ini terjadi pada proses pemungutan suara hingga rekapitulasi suara.
”Pada proses pemungutan suara, petugas di lapangan perlu mengantisipasi adanya kecurangan ketika orang yang tidak memiliki hak suara, tetapi ternyata mereka malah diberikan izin untuk memilih,” ucapnya saat dihubungi dari Jakarta.
Titi menilai, ada info yang beredar di media sosial bahwa setiap orang yang memiliki KTP-el bisa mencoblos di TPS mana pun. Padahal, berdasarkan aturan, seharusnya hanya orang-orang yang tidak terdaftar di DPT yang boleh menggunakan KTP-el sebagai bukti agar bisa mencoblos.
”Proses pemungutan suaranya pun juga hanya boleh dilakukan di alamat sesuai dengan KTP-el. Oleh sebab itu, pemahaman ini perlu disosialisasikan kepada para pemilih dan petugas lapangan,” katanya.
Selain itu, menurut Titi, para petugas di lapangan harus diberikan pemahaman terkait perbedaan antara daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb), dan daftar pemilih khusus (DPK). Setiap daftar pemilih ini memiliki syarat dan ketentuan masing-masing untuk bisa memilih.
”Oleh sebab itu, perlu ada semacam call center sebagai pusat pengaduan bagi pemilih yang tidak terakomodasi pada hari pelaksanaan,” ujarnya.
Sementara itu, Titi mengatakan, proses rekapitulasi suara akan berlangsung lebih rumit karena pemilu berlangsung serentak. Petugas harus teliti dalan menghitung suara capres-cawapres, partai, dan anggota legislatif yang terdiri dari DPR, DPRD, dan DPD.
”Oleh karena itu, petugas perlu menyiapkan tenaga ekstra dalam proses rekapitulasi suara. Jangan sampai terjadi salah hitung sehingga muncul dugaan manipulasi suara,” ucapnya.