Hasil laut Maluku minim nilai tambah. Kehadiran industri pengolahan perlu didorong untuk memberikan nilai tambah serta efek lain, seperti penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan daerah.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Hasil laut Maluku minim nilai tambah. Kehadiran industri pengolahan perlu didorong untuk memberikan nilai tambah serta efek lain, seperti penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan daerah. Minat investasi di Maluku dapat tumbuh jika pemerintah aktif mendorongnya, termasuk memberikan sejumlah kemudahan berinvestasi.
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari, Selasa (16/4/2019), di Ambon, mengatakan, potensi perikanan yang kaya itu belum memberikan efek signifikan bagi daerah. Kemiskinan malah tinggi di pesisir pantai yang potensi lautnya sangat kaya. Angka kemiskinan di Maluku saat ini sebesar 17,85 persen atau urutan keempat tertinggi di Indonesia.
”Pemerintah masih sebatas membanggakan potensi itu. Lalu, apa yang dapat dilakukan agar potensi itu memberi manfaat? Industri pengolahan harus dibangun untuk menyerap hasil ikan dari nelayan kecil. Selain itu juga membuka peluang bagi banyak tenaga kerja lokal sehingga angka pengangguran ditekan,” ujar Ruslan.
Berdasarkan pantauan Kompas beberapa waktu lalu di sejumlah daerah pesisir di Pulau Seram dan Pulau Buru, nelayan kecil tidak bisa menjual tangkapan seperti tuna dan cakalang. Di sana tidak ada perusahaan yang membeli ikan mereka. Hasil tangkapan dijual kepada warga setempat dengan harga sangat rendah. Jika tangkapan melimpah, banyak ikan yang dibuang.
Sebelumnya, di Maluku terdapat satu industri pengolahan ikan, tepatnya di Kota Tual. Namun, industri itu terpaksa ditutup karena kapal-kapal yang digunakan adalah eks asing. Perusahaan itu terdampak kebijakan moratorium Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menurut Ruslan, sudah saatnya pemerintah mendorong kembali industri perikanan di Maluku.
Lumbung nasional
Pekan lalu, Pelaksana Harian Gubernur Maluku Hamin bin Tahir berharap pemerintah pusat dapat mendorong masuknya investor di Maluku untuk mengelola potensi tersebut. Namun, nelayan lokal perlu terlebih dahulu diberdayakan.
Sejauh ini, pemerintah di daerah baru membantu tidak lebih dari 10 persen nelayan di Maluku dari total sekitar 115.000 rumah tangga nelayan. Pemerintah Provinsi Maluku pun sudah mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk menjadikan Maluku sebagai lumbung ikan nasional.
Pemerintah pusat juga beberapa kali telah merespons usulan tersebut, tetapi hingga kini belum terealisasi. Padahal, jika Maluku ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional, pembangunan perikanan di Indonesia akan difokuskan di Maluku sebagai daerah penghasil ikan terbanyak di Indonesia.
Wilayah Maluku didominasi laut dengan luas 658.331,52 kilometer persegi atau 92,4 persen dari total wilayah provinsi itu. Maluku termasuk dalam tiga wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPPRI), yakni WPPRI 714 yang meliputi Laut Banda, WPPRI 715 meliputi Laut Seram, dan WPPRI 718 meliputi Laut Arafura. Potensi perikanan sekitar 3 juta ton per tahun atau 30 persen dari potensi nasional.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro, saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Provinsi Maluku di Ambon, Selasa (9/4/2019), juga mengatakan bahwa potensi lokal perlu diberi nilai tambah melalui industri pengolahan.
Namun, Bambang mengingatkan agar daerah harus ramah pada investasi. Jika tidak, investor tidak akan berani masuk ke Maluku.