Siapa Unggul di Wilayah Paling Kompetitif?
Polarisasi politik yang terbentuk dalam Pemilu Presiden 2019 menjadi semakin kontras di wilayah yang selama ini menjadi battleground bagi pasangan calon presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin ataupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Di satu sisi, kedua pasangan sama-sama gagal menguasai wilayah kekuasaan lawan politik. Namun, di sisi lain, keduanya berhasil meninggikan dukungan suara di wilayah yang dikuasai sebelumnya.
Pulau Jawa dan Sumatera menjadi dua kawasan pertarungan politik yang dikenal paling kompetitif dalam ajang pemilu presiden. Mengacu pada hasil Pemilu Presiden 2014, di dua kawasan ini terjadi persaingan yang paling ketat, dengan selisih kemenangan di bawah 5 persen.
Di Pulau Jawa, misalnya, pada Pemilu 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mampu meraih 51,9 persen suara. Artinya, pada pemilu tersebut, selisih kemenangan mereka hanya terpaut 3,8 persen dari rival politiknya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Selisih proporsi kemenangan tersebut terbilang relatif tipis, masih di bawah selisih kemenangan mereka secara nasional. Pada saat itu, selisih Jokowi-Kalla dan Prabowo-Hatta terpaut 6,3 persen.
Baca Juga : Efek "Ekor Jas" Tidak Efektif di Pemilu 2019
Sekalipun terpaut kecil, karena total suara pemilih di Jawa terbesar, hingga 59 persen dari total pemilih di negeri ini, maka kemenangan Jokowi-Kalla saat itu menjadi sumbangan terbesar bagi kemenangan mereka secara nasional.
Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, peta politik Pulau Jawa tidak seragam. Pada level provinsi saja sudah tergambarkan bagaimana persaingan kedua pasangan berlangsung sangat kompetitif. Provinsi Banten dan Jawa Barat, misalnya, menjadi wilayah kemenangan Prabowo-Hatta dengan konsentrasi penguasaan suara yang signifikan. Sebaliknya, di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI, dan DI Yogyakarta, justru pasangan Jokowi-Kalla unggul.
Persoalannya, bagaimana dengan Pemilu 2019 kali ini?
Jawa memang menjadi wilayah yang paling dipertaruhkan oleh Jokowi yang kali ini berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Fakta demikian tampak dalam strategi penguasaan pemilih yang sejak jauh-jauh hari sudah dirancang. Penguasaan Jawa di sini tidak semata-mata pada upaya menjaga wilayah yang sudah dimenangi pada pertarungan 2014 lalu, tetapi juga berupaya menguasai Jawa Barat dan Banten yang dikuasai oleh Prabowo.
Strategi penguatan dukungan partai politik pendukung Jokowi, penguatan dukungan melalui aktor-aktor kultural dan pemerintahan lokal, hingga curahan kinerja fisik pembangunan semenjak awal memerintah berupaya dilakukan.
Begitu pula pasangan Prabowo-Sandi. Jawa memang bukan benteng penguasaan mereka. Namun, kontribusi pemilih di Jawa yang sangat besar menjadi daya tarik untuk menguasainya. Sulit untuk meningkatkan perolehan suara apalagi menang secara nasional jika tidak mampu menguasai Jawa.
Itulah mengapa Prabowo-Sandi berupaya menambah sebanyak mungkin dukungan suara di Jawa, khususnya dengan memperkuat penguasaan suara di wilayah benteng kekuatan Jokowi, seperti di Jawa Tengah.
Baca Juga : Hasil Sementara KPU: Joko Widodo Masih Unggul
Hasilnya, Jawa tetap tidak mampu ditaklukkan oleh Prabowo-Sandi. Begitu pula, sekalipun Jokowi-Amin unggul di Jawa, penguasaan keduanya tidak merata di seluruh provinsi Jawa. Bagi Jokowi, justru di wilayah provinsi yang sebelumnya menjadi kekalahannya tidak terjadi suatu lonjakan suara dukungan. Ia tetap kalah. Provinsi Jawa Barat dan Banten tetap dalam penguasaan Prabowo yang kali ini berpasangan dengan Sandiaga. Namun, sebaliknya, justru di wilayah yang menjadi basis kemenangan Jokowi, seperti Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, menjadi semakin besar dukungan yang didapatkan.
Secara keseluruhan, berdasarkan prediksi hitung cepat Kompas, di kawasan Jawa, Jokowi-Amin mampu menguasai 57,7 persen. Sementara rivalnya, Prabowo-Sandi, sebesar 42,3 persen. Dengan selisih kemenangan hingga 15,4 persen tersebut, Jokowi-Amin berhasil memperkuat kemenangan mereka dibandingkan hasil Pemilu 2014. Namun, Prabowo-Sandi mampu mempertahankan provinsi-provinsi di Jawa yang sebelumnya mereka kuasai.
Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan prediksi survei-survei opini Litbang Kompas sebelumnya. Tiga survei dalam setahun terakhir, misalnya, menunjukkan penguasaan Jokowi yang cukup signifikan di Jawa. Hingga pada survei terakhir, Maret 2019, jurang perbedaan di antara kedua pasangan semakin mengecil, mencapai 20 persen (Grafik 1). Dalam kondisi tersebut, pasangan Prabowo-Sandi memiliki momentum karena sepanjang survei dilakukan mereka cenderung menciptakan tren peningkatan suara dan sebaliknya justru pasangan Jokowi-Amin dalam tren penurunan.
Kondisi serupa tetapi berbeda pemenangnya terjadi di Sumatera. Jika di Jawa Jokowi-Amin diprediksi menjadi pengumpul suara terbanyak, justru di Sumatera mereka tidak mampu menguasai wilayah politik yang menjadi milik Prabowo-Sandi. Bahkan, yang terjadi di Sumatera, Prabowo-Sandi justru semakin memperluas wilayah kemenangan ataupun dukungan pemilihnya.
Hasil hitung cepat Kompas menunjukkan, tidak kurang dari 70 persen pemilih di Sumatera memilih Prabowo-Sandi. Proporsi tersebut jauh di atas capaian Prabowo tahun 2014 kala ia bersama Hatta Rajasa unggul tipis, di bawah 1 persen saja. Saat itu, mereka meraih suara 50,2 persen dan terkonsentrasi di Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau, dan Sumatera Selatan.
Peningkatan dukungan terhadap Prabowo-Sandi terjadi di beberapa provinsi, seperti Aceh dan Sumatera Barat. Sumatera Barat, provinsi yang menjadi basis kemenangan Prabowo-Sandi pada Pemilu 2014, dengan penguasaan suara hampir tiga perempat bagian pemilih, pada pemilu kali ini justru semakin meningkat, mencapai di atas 80 persen. Proporsi tersebut menempatkan Sumatera Barat sebagai kantong Prabowo-Sandi terbesar.
Berdasarkan hasil-hasil survei sebelumnya, bukti semakin perkasanya Prabowo-Sandi sudah tampak. Setahun terakhir, tiga hasil survei periodik Litbang Kompas menunjukkan terjadinya tren positif terhadap Prabowo-Sandi. Survei pada April 2018, misalnya, posisi Prabowo yang saat itu belum menjadi calon presiden jauh terkalahkan oleh elektabilitas Jokowi. Selanjutnya, survei pada Oktober 2018, saat ia berpasangan dengan Sandi, posisi elektabilitasnya meroket dan mampu menyamai kondisi keterpilihan mereka saat Pemilu 2014 (Grafik 2).
Apabila Prabowo-Sandi menunjukkan tren peningkatan elektabilitas di Sumatera, kondisi yang terbalik dialami Jokowi. Tren penurunan elektabilitas terjadi secara konsisten. Pada survei Oktober, Jokowi yang saat itu sudah dipasangkan dengan Ma’ruf Amin justru melorot proporsi elektabilitasnya. Tidak berhenti sampai di situ, pada survei berikutnya, Maret 2019 atau sebulan sebelum Pemilu 2019, penurunan tetap tidak terhentikan.
Sekalipun secara keseluruhan di Sumatera pasangan Jokowi-Amin tidak mampu menguasainya, beberapa provinsi tetap menjadi wilayah kemenangan mereka. Lampung, misalnya, menjadi wilayah yang masih tetap dipertahankan. Begitu pula suara pemilih di Sumatera Utara, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Bengkulu juga masih cukup signifikan.
Berdasarkan segenap hasil survei dan hitung cepat di Jawa dan Sumatera, wilayah paling kompetitif persaingannya tersebut, menjadi semakin nyata bahwa wilayah-wilayah yang sebelumnya tampak paling kompetitif kini sudah beralih menjadi wilayah politik yang kontras terpolarisasi. (LITBANG KOMPAS)