Keanggunan perempuan Tionghoa ketika mengenakan kebaya tak kalah dengan pesona putri keraton di tanah Jawa. Namun, tak ada yang menyangka, para perempuan yang dibalut kebaya wangi itu memendam luka sejarah yang dalam.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
Keanggunan perempuan Tionghoa ketika mengenakan kebaya tak kalah dengan pesona putri keraton di tanah Jawa. Namun, tak ada yang menyangka, para perempuan yang dibalut kebaya wangi itu memendam luka sejarah yang dalam.
Sejumlah 34 perempuan Tionghoa ambil bagian dalam Lomba Kebaya Nasional di Kota Medan, Sumatera Utara, Minggu (21/4/2019). Kompetisi busana itu diselenggarakan Perempuan Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (Inti) Sumatera Utara untuk memperingati Hari Kartini.
”Sejak remaja, saya suka pakai kebaya. Kalau sedang pakai kebaya, orang tidak akan mengira saya keturunan Tionghoa,” kata salah seorang peserta lomba, Roslina (58).
Hari itu, Roslina tampil anggun dengan kebaya hitam selutut serta roncean bunga melati melekat di kepala. Tampak betul ia menggemari kebaya ketika bersemangat menjelaskan secara rinci semua aksesori yang melekat di badan.
Sama seperti kebanyakan perempuan Tionghoa lain, Roslina pernah merasakan hidup di tengah badai stigma masyarakat. Orang Tionghoa sering dianggap sebagai komunitas yang eksklusif, angkuh, dan acuh tak acuh.
”Semua orang tahu soal stigma itu. Namun, saya kira cap itu tidak benar. Kami ini yang pertama adalah orang Indonesia dan baru yang kedua orang Tionghoa, jangan dibalik,” kata Roslina.
Perhimpunan Inti awalnya dibentuk Eddie Lembong pada 1999. Setelah kerusuhan Mei 1998, warga Tionghoa menyadari, ada yang salah dan harus diperbaiki dalam hubungan etnis Tionghoa dengan etnis lain di Indonesia.
Melalui wadah organisasi itu, warga Tionghoa di Indonesia berusaha berperan aktif dalam dinamika pembangunan bangsa, antara lain dengan penuntasan masalah warisan masa lalu. Mereka meyakini, pengertian antar-etnis akan terbentuk jika mengenal sejarah masing-masing.
Sebagai orang Tionghoa kelahiran Indonesia, Roslina tak pernah ragu akan cintanya kepada Indonesia. Bahkan, sejak kecil, sosok Kartini sudah menjadi panutan dia dalam hidup.
”Tionghoa atau bukan, nasib perempuan itu, kan, sama saja, kasur-dapur-sumur. Bagi perempuan mana pun, Kartini tetap sosok yang luar biasa,” kata Roslina.
Tionghoa atau bukan, nasib perempuan itu, kan, sama saja, kasur-dapur-sumur. Bagi perempuan mana pun, Kartini tetap sosok yang luar biasa.
Peserta lain, Linayanti (50), mengatakan, menjadi perempuan Tionghoa berarti memikul beban ganda. ”Sudah perempuan, Tionghoa pula,” ujar Linayanti.
Tuntutan masyarakat bagi perempuan untuk berdiri di belakang laki-laki sama menyakitkannya dengan stigma yang memojokkan orang Tionghoa. Laki-laki atau perempuan, Tionghoa atau Batak, merupakan manusia yang memiliki hak yang sama.
Namun, Linayanti meyakini, perempuan punya keistimewaan untuk saling mengerti. Perempuan dari etnis apa pun tetaplah seorang perempuan. Mereka adalah ibu yang pengasih dan penyayang.
”Mengenakan kebaya bukan berarti kemunduran. Seperti Kartini, kami tetap menjalankan peran kami sebagai perempuan dan ibu. Namun, menghidupi semangat perempuan harus ikut berperan,” katanya.
Ketua Panitia Lomba Kebaya Nasional Perhimpunan Inti Sumatera Utara Janice mengatakan, kegiatan itu merupakan salah satu upaya komunitas Tionghoa berpartisipasi dalam kegiatan kebangsaan masyarakat di Kota Medan. Ia berharap, ke depan, kegiatan itu akan diikuti lebih banyak peserta.