Diversifikasi produk dan pasar menjadi hal yang diupayakan pemerintah untuk mendongkrak kinerja ekspor. Indonesia pernah mengalami masa bonanza minyak. Harga komoditas yang bagus pun pernah dinikmati negeri ini. Namun, kondisi itu tidak selamanya.
Indonesia pernah menjadi eksportir minyak, tetapi kemudian menjadi importir minyak. Impor minyak dan gas bumi dalam jumlah besar di saat kontribusi ekspor nonmigas masih jauh dari optimal turut memberi tekanan pada kinerja perdagangan.
Belum lagi ketika harga komoditas anjlok, baik karena permintaan dunia yang lesu maupun faktor lain. Perang dagang semakin menambah pelik persoalan. Apalagi ketika dua negara yang terlibat, China dan Amerika Serikat (AS), adalah mitra dagang penting Indonesia.
Badan Pusat Statistik mendata total ekspor Indonesia di triwulan I-2019 senilai 40,51 miliar dollar AS. Ekspor nonmigas sepanjang Januari-Maret 2019 tersebut tercatat 37,07 miliar dollar AS.
Pangsa pasar ekspor nonmigas ke China pada tiga bulan pertama tahun 2019 mendominasi; yakni 5,24 miliar dollar AS atau 14,12 persen dari total ekspor nonmigas. Disusul ekspor ke AS di urutan kedua, yakni senilai 4,16 miliar dollar AS atau 11,23 persen.
Sebagai perbandingan, pangsa ekspor nonmigas ke China pada Januari-Maret 2018 senilai 6,34 miliar dollar AS (15,76 persen) dan ke AS senilai 4,42 miliar dollar AS (10,99 persen).
Bicara kawasan, ekspor ke negara-negara Asia Tenggara periode Januari-Maret 2019 tercatat 8,26 miliar dollar AS atau 22,27 persen. Adapun ekspor ke Uni Eropa terdata 3,60 miliar dollar AS atau 9,72 persen.
Ekspor ke Australia yang ternyata ”baru” 450 juta dollar AS atau 1,21 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia Januari-Maret 2019.
Bicara negara, tujuan ekspor utama Indonesia setelah China dan AS berturut-turut adalah Jepang, India, Singapura, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand. Disusul kemudian Taiwan, Belanda, Jerman, Australia, dan Italia.
Banyak yang bisa dibaca dari data tersebut. Sebut misalnya ekspor Indonesia ke Australia yang ternyata ”baru” 450 juta dollar AS atau 1,21 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-Maret 2019.
Padahal, Australia adalah negara tetangga yang relatif dekat dengan Indonesia. Tentu ada peluang untuk menggenjot ekspor Indonesia ke Australia. Perjanjian kerja sama ekonomi menyeluruh kedua negara (Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia/IA-CEPA) kian membuka peluang tersebut.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa masih banyak negara-negara di dunia yang belum sepenuhnya tergarap sebagai pasar tujuan ekspor.
Data Kementerian Luar Negeri yang disampaikan pada Seminar Perdagangan Nasional dan Dialog Gerakan Ekspor Nasional beberapa waktu lalu menunjukkan, saat ini ada 132 perwakilan Indonesia di seluruh dunia. Jadi, ada peluang meningkatkan ekspor ke banyak negara tersebut dengan memanfaatkan kedutaan besar atau konsul jenderal Republik Indonesia di sana.
Produk apa yang dibutuhkan di negara tersebut? Adakah produk tersebut di Indonesia? Mampukah pelaku usaha Indonesia mengisi pasar tersebut? Kalau iya, hubungkan sisi permintaan dan pasokan tersebut untuk memperluas pasar ekspor Indonesia.
Kolaborasi pemerintah dan dunia usaha penting untuk menjaga kepentingan Indonesia, terutama dalam upaya mendongkrak ekspor. Apalagi pemerintah menggadang-gadang peningkatan ekspor dan juga investasi sebagai kunci utama pertumbuhan ekonomi.