Ke Morotai Aku Kan Kembali
Morotai pernah dijadikan pangkalan militer pasukan Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia II. Saat itu, Jenderal Douglas MacArthur menerapkan strategi lompat katak ketika hendak merebut kembali Filipina yang diduduki Jepang.
Morotai pernah dijadikan pangkalan militer pasukan Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia II. Saat itu, Jenderal Douglas MacArthur menerapkan strategi lompat katak ketika hendak merebut kembali Filipina yang diduduki Jepang. Jejak Morotai yang pernah membara oleh kecamuk perang, terserak di pulau yang berada di ”bibir” pasifik itu.
Sayangnya, penanda Morotai pernah menjadi wilayah perang antara pasukan sekutu dan Amerika Serikat dan Jepang sudah banyak hilang.
Untuk kendaraan perang, hanya tertinggal dua tank amfibi yang berada di Desa Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara. Dua tank yang hanya tinggal kerangka badannya ini sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya.
Sayangnya, penanda Morotai pernah menjadi wilayah perang antara pasukan sekutu dan Amerika Serikat dan Jepang sudah banyak hilang.
Tank dengan lambang bintang pada lambungnya ini terletak di tengah kebun yang jaraknya 500 meter dari pinggir pantai. Terdapat lubang-lubang bekas berondongan peluru magasin yang tembus hingga dinding lambung satunya. Sayangnya, di tank ini saja sudah tidak banyak yang tersisa.Tidak terlihat lagi roda dan rantainya, kursi, meriam, dan lainnya.
”Tahun 1990-an, peninggalan yang mengandung logam sudah diangkut ke Jawa pada masa Orde Baru untuk dilebur di pabrik besi baja,” ungkap Muhlis Eso (38), pegiat sejarah lokal, pertengahan Maret lalu.
Bayangkan, jika benda-benda peninggalan itu masih utuh. Morotai bisa menjadi ”museum” terbesar yang merekam akhir Perang Dunia II. Selama sembilan bulan, pasukan sekutu dan AS bercokol di Morotai menyusul menyerahnya Jepang pada 15 Agustus 1945.
Baca Juga : Surga Tertinggal di Morotai
Tank amfibi yang tersisa adalah dari jenis Landing Vehicle Tracked Mark 2 (LVT-2) milik Angkatan Laut AS dari batalyon tank amfibi ke-708. Mulai beroperasi tahun 1943 di wilayah Pasifik Selatan, termasuk Morotai, tank yang juga disebut Amtrak atau Amphtrack ini difungsikan sebagai alat transportasi prajurit dan logistik dari kapal perang ke lokasi garis pantai yang akan diserbu.
Sebelum diduduki pasukan sekutu dan AS, Morotai lebih dulu dikuasai Jepang tahun 1942. Pada saat kedatangannya di Morotai pada 15 September 1944, AS dan sekutu membawa 3.000 pesawat tempur dan ribuan kendaraan tempur lainnya. Kedatangan mereka disambut oleh perlawanan sengit pasukan Jepang.
Aliansi sekutu dan AS kemudian membangun Navy Base atau Army Dock di Pantai Pandanga. Ada lima dermaga laut dan dua dok kapal yang dibangun di pantai itu. Reruntuhan bekas dermaga masih bisa dilihat saat ini. Kini, di sore hari, pantai ini ramai dikunjungi warga karena menawarkan suasana matahari tenggelam yang indah.
Pantai Pandanga di sore hari ramai dikunjungi warga karena menawarkan suasana matahari tenggelam yang indah.
Dari lokasi ini pula, dulunya terdapat jembatan terapung yang menghubungkan Army Dock ke Pulau Zum-zum. Pulau Morotai sudah pasti menjadi sasaran tembak musuh. Untuk melindungi MacArthur, dibangun kediaman sang jenderal di Pulau Zum-zum.
Baca Juga : Keajaiban Bawah Laut Morotai
Tidak hanya itu, untuk menyuplai kebutuhan air tawar, dibangun pula jaringan air tawar bawah laut. Airnya bersumber dari mata air Air Kaca di Desa Joubela, 5 kilometer dari Army Dock. Hingga kini, Air Kaca yang tampilannya lebih mirip goa, masih terus mengeluarkan airnya yang jernih.
”Dulu, tempat ini juga digunakan untuk mandi, cuci, termasuk mencuci jip-jip tentara sekutu. Beberapa tahun belakangan, tidak boleh lagi ada kegiatan cuci mandi di sini,” ungkap Muhlis.
Sayangnya, tidak tersisa lagi jejak-jejak jembatan terapung dan pipa air bawah laut. Semua yang terbuat dari logam, sudah dipreteli dan dibawa ke Jawa untuk dilebur, seperti diungkapkan Muhlis. Sebagai penanda di Pulau Zum-zum pernah berdiam Douglas MacArthur, dibuatlah patung sang jenderal di tepi pantai yang menghadap ke laut.
”Tahun 1980 hingga 1990-an, semua peninggalan bekas perang dibawa ke Jawa untuk dilebur. Semua dipreteli, termasuk jembatan dan pipa-pipa bawah laut,” ungkap Muhlis.
Selain membangun Navy Base dan Army Dock, aliansi pasukan sekutu dan AS juga membangun landasan pacu (runway) untuk melengkapi dua landasan yang sempat dibangun Jepang. Total menjadi tujuh landas pacu dengan panjang masing-masing 2.800 meter untuk mengakomodasi ribuan pesawat tempur yang mondar-mandir di udara Morotai.
Dua landasan digunakan sebagai parkir pesawat, sisanya untuk lalu lintas keluar masuk pesawat. Landasan dibuat dari material batu putih yang ditemukan di daerah setempat. Lapisan batu-batu putih ditata, disiram air, lalu digilas. Diulangi beberapa kali prosesnya hingga akhirnya memadat dengan ketebalan yang diinginkan.
Oleh karena landasannya berjumlah tujuh, bandara ini sempat dinamai Bandara Pitu. Namun, kini nama resminya Bandara Leo Wattimena. Tidak semua landasan pacu masih aktif dipakai. Landasan yang tidak dipakai tampak ditumbuhi rumput, ilalang, dan pepohonan di kanan-kirinya.
Museum pribadi
Jika ingin melihat peninggalan lainnya, bisa mengunjungi ”Museum Swadaya Perang Dunia II di Morotai” di Desa Joubela, Kecamatan Morotai Selatan. Museum sederhana ini sebenarnya museum pribadi yang dirintis oleh pendirinya, Muhlis Eso. Pria berusia 38 tahun ini sejak kecil mengumpulkan benda-benda peninggalan perang.
Pada masa itu, mengumpulkan barang-barang peninggalan perang dianggap biasa dan dilakukan banyak orang di Morotai. Warisan Perang Dunia II berserakan dan terpendam di dalam tanah.
Bedanya, orang lain menjualnya atau menggunakannya sebagai bahan kerajinan besi putih. Sementara, Muhlis menyimpannya baik-baik, bahkan melengkapinya dengan cerita-cerita yang dihimpun dari hasil membaca dan berbincang dengan banyak orang.
”Saya pernah nonton film Janur Kuning di TVRI. Sejak itu, jadi suka cerita perang,” kata Muhlis.
Seorang mahasiswa KKN (kuliah kerja nyata) yang sempat melihat koleksi Muhlis berpesan agar benda-benda itu tetap disimpan dan dijaga baik-baik. Koleksinya bisa kita nikmati sekarang, seperti teropong, sirene, dongkrak, bayonet Jepang, peluru, pelontar sinar, granat, proyektil, selongsong, tabung oksigen, bingkai kacamata, cetakan kue, botol limun, botol cola, dan botol morfin.
Muhlis juga mengetahui persis bekas lokasi rumah sakit, barak perawat, makam prajurit, hingga pabrik roti dan pabrik limun yang pernah didirikan di Morotai. Namun, bangunan-bangunan itu saat ini tinggal bekas tapak bangunannya saja karena dibumihanguskan oleh sekutu sebelum ditinggalkan.
Sayangnya, tidak ada orang lain yang memiliki pengetahuan sebanyak Muhlis tentang Perang Dunia II. ”Saya sedang mencoba mendidik anak-anak SMK agar juga menguasai cerita tentang Perang Dunia II di Morotai,” kata Muhlis.
Museum lain adalah Museum Perang Dunia II dan Monumen Trikora yang diresmikan tahun 2012. Gedungnya bagus dan megah, tetapi sayangnya tidak buka setiap hari untuk pengunjung umum.
”Harus pesan dahulu kepada staf museum kalau mau berkunjung. Biasanya, sopir-sopir mobil sewaan tahu nomor telepon mereka,” ungkap seorang warga.
Namun, koleksinya tidak sebanyak di Museum Swadaya Perang Dunia II di Morotai. Museum ini lebih banyak menampilkan foto-foto, patung, diorama, dan narasi yang dipajang di ruangan demi ruangan museum.
Meskipun telah menduduki Morotai sejak tahun 1942, Jepang tidak menempatkan jumlah prajurit yang cukup di pulau ini. Bantuan pasukan yang datang 1-2 bulan setelah datangnya sekutu dan AS tetap tidak mampu menandingi kekuatan lawan hingga akhirnya Jepang mengaku takluk.
Walaupun begitu, ada beberapa prajurit Jepang yang tetap bertahan. Salah satunya adalah Teruo Nakamura yang lari ke hutan. Sesekali ia diketahui warga menyelinap ke perkampungan dan mencuri ayam atau tanaman warga. Keberadaannya kemudian dilaporkan.
Prajurit asal Taiwan itu akhirnya berhasil diyakinkan bahwa perang telah usai. Ia berhasil dibujuk keluar dari persembunyiannya pada akhir tahun 1974. Nakamura kembali ke kampung halamannya di Taiwan. Kini, jejaknya ditandai dengan monumen Teruo Nakamura yang berlokasi di persimpangan jalan menuju hutan persembunyiannya. Air terjun yang ada di kawasan hutan itu juga diberi nama Air Terjun Nakamura.
Morotai bagaikan magnet. Bukan saja pesona sejarahnya yang menjerat, melainkan juga keindahan alam dan lautnya. Tidak cukup rasanya sekali ke Morotai. Meminjam perkataan terkenal Jenderal Douglas MacArthur, I shall return!