Pekerja Migran Tak Berdokumen dan Hilangnya Hak Politik
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keberadaan pekerja migran tidak berdokumen resmi cenderung berkaitan dengan fakta hilangnya hak politik mereka saat pelaksanaan Pemilu 2019. Gagasan untuk mengatasi kedua persoalan ini secara bersamaan mulai digulirkan, sekalipun ada hal-hal khusus yang tetap mesti dijadikan bahan pertimbangan.
Hal itu terungkap dalam “media briefing” dengan tema “Tantangan Pemilu RI 2019 Bagi Pekerja Migram & Masyarakat Adat,” Senin (29/4/2019) petang di Gedung Bawaslu, Jakarta. Hadir sebagai pembicara dalam kesempatan itu adalah Ketua Kajian Migrasi Migrant Care Anis Hidayah, Peneliti Seniot Netgrit Hadar Nafis Gumay, dan Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin. Hadir pula Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat PB Aman Abdi Akbar dan Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo.
Dalam kesempatan itu, Anis mengatakan bahwa permasalahan pekerja migran yang tidak berdokumen erat hubungannya dengan masalah pemilu.
Hal ini, imbuh Anis, terkait dengan keberadaan pekerja tanpa dokumen resmi yang berhubungan dengan hilangnya hak politik. Ia menyebutkan bahwa tidak semua pekerja migran yang tidak berdokumen turut dalam antrean untuk mengikuti pemilu di luar negeri.
Hal ini misalnya terjadi di Malaysia, sebagaimana pantauan yang dilakukan Migrant Care. Dalam Pemilu 2019, Migrant Care melakukan pemantauan di Malaysia, Hongkong, dan Singapura.
Khusus mengenai penyelenggaraan pemilu di Malaysia, Anis mengatakan bahwa pihaknya mengapresasi Bawaslu yang merekomendasikan pemungutan suara ulang di PPLN Kuala Lumpur. Ini terkait dengan peristiwa dugaan tercoblosnya surat suara lewat metode pos di wilayah kerja PPLN tersebut.
Ia menambahkan bahwa momentum itu mestinya dipergunakan sebagai pemicu untuk mengungkap yang sesungguhnya terjadi di balik peristiwa itu. Anis menambahkan bahwa Migrant Care bersedia untuk memberikan sejumlah informasi terkait jika diinginkan Bawaslu.
Menurut Anis, berdasarkan pantauan diketahui bahwa sejauh ini ada pihak-pihak tertentu yang secara proaktif melakukan mobilisasi untuk memberikan dukungan pada calon tertentu. Hal ini diduga berhubungan dengan sebagian calon tenaga kerja Indonesia yang relatif sudah lama eksis.
Sementara menurut Wahyu, berdasarkan pantauan di tiga negara tersebut dapat disimpulkan bahwa antusiasme pekerja migran yang meningkat dan relatif tinggi. Namun, hal ini cenderung tidak dibarengi dengan dengan respon cepat penyelenggara pemilu. Ia mencontohkan, antrean relatif panjang yang terjadi di Hongkong dan pada akhirnya membuat sebagian di antara pengantre tidak bisa memilih.
Status hukum
Adapun, menurut Hadar, situasi dilematik berupa adanya pekerja migran yang status hukumnya bermasalah dan dengan demikian membuat yang bersangkutan takut untuk mendaftar sebagai pemilih merupakan persoalan lama. Ia mengusulkan, momen pendataan pemilih mestinya bisa juga bisa dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan status legal sebagai pekerja migran. Namun, ia juga menyadari ada hal-hal spesifik yang membuat hal tersebut sulit dilaksanakan.
Hadar juga mengomentari perihal sistem pendaftaran pemilih di dalam negeri dan di luar negeri yang tidak memiliki keterkaitan. Hal tersebut membuat ada kemungkinan pendaftaran ganda antara warga yang berada di luar negeri dan dalam negeri.
“Ini semoga bisa dibenahi, sehingga logistik tidak terbuang percuma dan partisipasi (politik) bisa diukur (lebih) pasti,” sebut Hadar.
Hadar menyampaikan bahwa untuk selanjutnya perlu dicari proses yang lebih sederhana dan mudah. Ia mengatakan, penggunaan teknologi dalam pemilu harus lebih ditingkatkan.
Menanggapi hal itu, Afif menyampaikan bahwa terkait dengan hak pilih bagi pekerja migran, diketetahui bahwa tidak semua majikan kooperatif dengan pemenuhannya. Ia mengatakan di sebagian negara, paspor sebagian pekerja migran tetap dipegang majikan sehingga cenderung menyulitkan untuk pencatatan pemilih.
Ia menambahkan, bahwa pada dasarnya, kegembiraan dalam menggunakan hak pilih seharusnya jangan sampai dikecewakan karena alasan teknis. Hal ini misalnya terkait dengan sejumlah tempat dengan beberapa persoalan yang pada akhirnya memunculkan rekomendasi untuk digelarnya pemungutan suara ulang dan pemungutan suara lanjutan.