“Banjir kepung Jakarta Timur dan Jakarta Selatan”. Sepenggal kalimat dalam berbagai kepala berita media cetak, elektronik maupun online bukan lagi hal yang mengejutkan apalagi spektakuler bagi sebagian besar warga Ibu Kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi. Kejadian itu nyaris menjadi tradisi tahunan bagi sebagian wilayah Ibukota Republik.
Tradisi itu seolah biasa bagi warga yang di wilayah Daerah Aliran Sungai Ciliwung maupun di bantaran kali jika turun hujan beberapa jam di hulu dan hilir sungai.
Luapan Sungai Ciliwung, misalnya, sudah pasti memaksa mereka mengungsi. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat, Jumat (26/4/2019) malam, 2.942 warga Jakarta Timur dan Jakarta Selatan yang mengungsi akibat banjir.
Pada Minggu pukul 12.00, BPBD DKI mencatat, 248 pengungsi di Jakarta Barat dan Selatan. Banjir masih melanda tiga pemukiman.
Meski banjir mulai surut, tetapi cerita banjir mengepung berbagai wilayah tersebut selalu datang setiap musim penghujan tanpa ada penanganan tuntas.
Nakhoda baru DKI Jakarta menawarkan wacana lain yang menurutnya lebih pas dan manusiawi dalam mengatasi banjir. Konsep ini tidak salah, bahkan boleh dianggap jitu jika memang benar bisa dilakukan untuk menangani banjir tanpa menimbulkan konflik dengan warga.
Namun hingga kini, kenyataannya wilayah bantaran kali belum lepas dari okupasi warga yang makin mempersempit aliran sungai.
Banyak pihak mempertanyakannya, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Menurut Kementerian PUPR, program penanganan banjir melalui normalisasi sungai yang selama ini mereka kenal, jauh lebih baik. Namun tetap saja kebijakan normalisasi yang telah dilakukan sebelumnya dianggap tidak tepat karena akan menggusur dan menyengsarakan rakyat.
Mewujudkan konsep
Gubernur Anies Rasyid Baswedan mengeluarkan Pergub Nomor 31 Tahun 2019 mengenai Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air Secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi. Inti pergub ini adalah konsep naturalisasi untuk pengendalian banjir. Pasal 1 Ayat 11 intinya menegaskan naturalisasi adalah cara pengelolaan dengan konsep ruang terbuka hijau dengan mengutamakan fungsi sebagai pengendali banjir.
Adapun warga Jakarta tidak pusing mau normalisasi atau naturalisasi. Yang penting, banjir tertangani dengan tuntas. Mereka tidak perlu lagi berapa banyak wacana yang akan dihamburkan karena pada kenyataannya sampai kemarin, banjir tetap terjadi. Bahkan banjir selalu terjadi jika penanganan sampah serta pendangkalan dan peciutan sungai tidak ditangani komprehensif.
Banjir tidak hanya melelahkan secara fisik dan mental, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak kecil. Warga ingin kerja nyata Gubernur Anies dan jajaran untuk menangani banjir Jakarta. Jika benar Anies ingin memuliakan air dengan memasukkan limpahan air ke dalam tanah, maka perlu dilakukan kerja keras. Namun jika tidak bisa dilakukan karena tanah di ibu kota sudah terlalu jenuh maka tidak perlu malu untuk memompa air ke kanal dan membuangnya ke laut seperti yang dilakukan oleh gubernur-gubernur sebelumnya.
Selain itu, Pemprov DKI harus bekerja sama dengan pemda lain untuk menyosialisasikan sungai sebagai latar depan beranda rumah, bukan lagi latar belakang. Tujuannya, sungai tidak lagi difungsikan sebagai ‘keranjang sampah’ raksasa, tetapi dimuliakan sebagai sumber daya air yang luar biasa untuk kemaslahatan umat manusia. Bahkan bisa menjadi sumber ekonomi wisata sungai dan jalur transportasi alternatif menembus kemacetan Jakarta. Ratusan ton sampah tak lagi menumpuk di berbagai pintu air. (Aditya Diveranta)